Senin, 30 November 2015

IRONI SUMATERA BARAT (Tribute to Prof. Dr. Riswandha Himawan, Eagle Flies Alone...)



Lima tahun pasca pemilihan Gubernur Sumatera Barat yang lalu, Sumatera Barat belum bisa menunjukan tajinya. Sumatera Barat sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif pada sebuah artikel di Republika menjelaskan Sumatera Barat berada pada posisi papan bawah dari keseluruhan propinsi yang ada di Indonesia.
Saya sendiri juga berpandangan demikian, namun hendaknya kita semua ikut mencarikan solusi. Pucuk pemerintahan yang berasal dari partai politik kadang kerap tersandera kepentingan partainya sendiri ketimbang kepentingan masyarakat di Propinsi yang mereka pegang. Hal ini terjadi karena kerap kali partai politik menganggap kadernya yang menjadi pejabat kepala daerah atau pimpinan daerah masih sebagai “anggota” partai politiknya, sehingga si kepala daerah malah berfungsi layaknya mesin ATM bagi partai politiknya.
Kondisi yang dijelaskan di atas sudah tentu merembet ke bawah, ke level kepala-kepala SKPD seperti kepala dinas dan pejabat pemerintahan pemegang anggaran. Makanya tidak jarang kita menemui salah seorang pejabat Kepala SKPD akan makan bersama di restoran dengan salah seorang pentolan atau petinggi partai politik pemegang kekuasaan sambil membawa Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Kita tidak bisa lagi menafikan situasi-situasi yang sebenarnya sudah terjadi di depan mata kepala. Tidak heran sebuah daerah tidak bisa memiliki banyak perubahan dan kemajuan disaat partai politik yang seharusnya turut membangun dan menyampaikan aspirasi masyarakat melalui lembaga legislatif (DPR) justru bersikap dan bertindak seperti gurita yang melilit pemerintahan itu sendiri, dan lintah yang menyedot anggaran yang harusnya digunakan untuk masyarakat luas. Masihkah ada pembangunan yang bisa dilaksanakan jika sebagian besar anggaran sudah digunakan untuk menghidupi partai politik yang berkuasa melalui kadernya yang memegang tampuk pemerintahan ?
Dibutuhkan orang kuat untuk menjadi seorang Kepala Daerah, baik itu sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota. Orang kuat yang mampu bertindak sebagai pengendali pemerintahan sekaligus mampu mengendalikan partai yang mengusung. Bukan orang-orang yang hanya bekerja untuk partai pengusung, tapi lupa bekerja untuk daerah yang dipimpin. Dibutuhkan orang yang berani untuk menjadi kepala daerah di Sumatera Barat, keberanian dalam bernegosiasi dan keberanian dalam melobi kepada pemerintah pusat guna mendapatkan anggaran untuk meningkatkan pembangunan dan perekonomian masyarakat. Bukan Gubernur yang penakut sehingga triliunan dana kembali ke pemerintah pusat, dengan alasan gubernur tidak berani mengambil kebijakan.
Dengan kondisi seperti yang sudah dijelaskan di atas, masih bisakah kita berharap banyak dari pemilihan langsung ? Jika kita semua menyimak debat, kampanye ataupun selebaran yang berisikan program yang akan dilaksanakan, berapa banyak program telah dilaksanakan dari kampanye yang lalu ? Atau yang terjadi malah sebaliknya ? Wallahualam...

Tribute to Prof. Dr. Riswandha Imawan. Yes Sir, Eagle flies alone...

3 komentar: