Lima
tahun pasca pemilihan Gubernur Sumatera Barat yang lalu, Sumatera Barat belum
bisa menunjukan tajinya. Sumatera Barat sebagaimana yang disampaikan oleh Buya
Syafii Maarif pada sebuah artikel di Republika menjelaskan Sumatera Barat
berada pada posisi papan bawah dari keseluruhan propinsi yang ada di Indonesia.
Saya
sendiri juga berpandangan demikian, namun hendaknya kita semua ikut mencarikan
solusi. Pucuk pemerintahan yang berasal dari partai politik kadang kerap
tersandera kepentingan partainya sendiri ketimbang kepentingan masyarakat di
Propinsi yang mereka pegang. Hal ini terjadi karena kerap kali partai politik
menganggap kadernya yang menjadi pejabat kepala daerah atau pimpinan daerah
masih sebagai “anggota” partai politiknya, sehingga si kepala daerah malah
berfungsi layaknya mesin ATM bagi partai politiknya.
Kondisi
yang dijelaskan di atas sudah tentu merembet ke bawah, ke level kepala-kepala
SKPD seperti kepala dinas dan pejabat pemerintahan pemegang anggaran. Makanya tidak
jarang kita menemui salah seorang pejabat Kepala SKPD akan makan bersama di
restoran dengan salah seorang pentolan atau petinggi partai politik pemegang kekuasaan
sambil membawa Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Kita
tidak bisa lagi menafikan situasi-situasi yang sebenarnya sudah terjadi di
depan mata kepala. Tidak heran sebuah daerah tidak bisa memiliki banyak perubahan
dan kemajuan disaat partai politik yang seharusnya turut membangun dan
menyampaikan aspirasi masyarakat melalui lembaga legislatif (DPR) justru
bersikap dan bertindak seperti gurita yang melilit pemerintahan itu sendiri,
dan lintah yang menyedot anggaran yang harusnya digunakan untuk masyarakat
luas. Masihkah ada pembangunan yang bisa dilaksanakan jika sebagian besar
anggaran sudah digunakan untuk menghidupi partai politik yang berkuasa melalui
kadernya yang memegang tampuk pemerintahan ?
Dibutuhkan
orang kuat untuk menjadi seorang Kepala Daerah, baik itu sebagai Gubernur,
Bupati dan Walikota. Orang kuat yang mampu bertindak sebagai pengendali
pemerintahan sekaligus mampu mengendalikan partai yang mengusung. Bukan orang-orang
yang hanya bekerja untuk partai pengusung, tapi lupa bekerja untuk daerah yang
dipimpin. Dibutuhkan orang yang berani untuk menjadi kepala daerah di Sumatera
Barat, keberanian dalam bernegosiasi dan keberanian dalam melobi kepada pemerintah
pusat guna mendapatkan anggaran untuk meningkatkan pembangunan dan perekonomian
masyarakat. Bukan Gubernur yang penakut sehingga triliunan dana kembali ke
pemerintah pusat, dengan alasan gubernur tidak berani mengambil kebijakan.
Dengan
kondisi seperti yang sudah dijelaskan di atas, masih bisakah kita berharap
banyak dari pemilihan langsung ? Jika kita semua menyimak debat, kampanye
ataupun selebaran yang berisikan program yang akan dilaksanakan, berapa banyak
program telah dilaksanakan dari kampanye yang lalu ? Atau yang terjadi malah sebaliknya ? Wallahualam...
Bagus, sangat sangat menarik
BalasHapusTerima kasih atas atensinya Pak...
HapusBagu dan menarik, aku suka
BalasHapus