Senin, 09 November 2015

Bukan Coffee Morning, Kali Ini Coffee Politic




Pagi ini saya menyempatkan untuk kembali ke kedai kopi yang dulu rutin saya kunjungi pada tahun 90an, 1996 tepatnya. Tidak banyak yang saya cari di kedai kopi tua ini, hanya semangkuk bakmi dan secangkir kopi. Selain itu menu di kedai kopi tua ini memang tidak banyak.
Selain dari rasa yang ditawarkan, mungkin sebenarnya ada hal yang lebih dari itu yang saya cari di sini. Mungkin lebih tepatnya nostalgia. Salah satu senior saya pernah mengatakan, jika bisa dipersentasekan, maka kebahagiaan memiliki beberapa fase atau pembagian, 15% kebahagiaan berada di kehidupan saat ini, 50% kebahagiaan terletak pada masa depan (harapan) dan 35% terletak pada masa lalu (nostalgia). Jadi selain kopi dan bakmi, ada sedikit nostalgia yang bisa dijemput.
Kedai kopi yang saya kunjungi ini termasuk sangat biasa dan tidak seperti kedai kopi baru yang banyak bertebaran di setiap sudut Kota Padang saat ini. Tidak ada mesin kopi modern, tidak ada varian rasa capuccino, caramel atau apapun jenis kopi yang tengah booming saat ini. hanya kopi hitam, dengan atau tanpa susu. That's it. Namun apa yang menjadikannya begitu terkenang ? Rasa dan penyajiannya ! Rasanya persis sama dengan yang saya rasakan belasan tahun yang lalu, dan cangkir yang digunakan pun persis sama dengan yang digunakan belasan tahun yang lalu.
Bangku-bangku yang ada di kedai kopi ini masih menjaga aura tuanya. Tidak banyak pengunjung ketika saya berkunjung menjelang siang ini. Ramainya kedai kopi ini ada pada jam sarapan pagi. Tetapi itu bagus untuk saya, karena saya bisa duduk lebih lama dan menikmati menyeruput kopi dan menghisap beberapa batang rokok. Sesekali saya bercerita dengan pelayan yang masih sama dengan belasan tahun yang lalu. Sama-sama bercerita mengenai masa lalu. Pada zamannya, kedai kopi ini menyajikan kopi untuk orang-orang terpandang di kota ini, bahkan mungkin di Sumatera Barat. sekelas Gubernur pun menikmati kopi di sini, karena memang pada masa itu politik adanya di warung kopi, bukan di kantor pemerintahan apalagi di rumah dinas.
Ada pelajaran yang saya ambil saat saya melangkahkan kaki dari mobil yang saya kendarai menuju kedai kopi ini. Nuansa mungkin berbeda, namun pijakan kaki dan langkah saya masih sama dengan apa yang saya pijaki dulu. Lebih lanjut, saya juga bersyukur dan salut, bahwa ada orang-orang yang tetap memegang prinsip dan orisinallitasnya dalam hidup. Kedai kopi ini bisa saja membeli sebuah mesin pembuat kopi yang canggih dengan begitu banyak deretan tombolnya, namun mereka lebih memilih tetap mempertahankan tradisi lama di tengah modernisasi zaman. Sendok, cangkir tua, kopi, gula, saringan dan air panas. Itu saja untuk menghasilkan secangkir kopi yang akan anda rindukan. Ya... memang mereka sedikit mengikuti perkembangan zaman, sekarang mereka sudah punya alat pemeras jeruk, setahu saya dulu alat itu tidak ada.
Kita bisa memakai filosofi kedai kopi ini dalam kehidupan, bisa juga tidak. Anda mungkin akan menemukan banyak orang yang mendadak modern sepulangnya dari kota besar, anda bisa menemukan orang yang mendadak lupa akan persahabatannya dulu, atau mendadak lupa pada orang yang dulu pernah memberikannya bantuan dan lain sebagainya. Saya menganggap mereka hanyalah permainan pasar. Sedangkan saya ? Saya lebih memilih menjadi kedai kopi tua yang tetap setia pada ideologi dan filosofi hidup saya. Ketinggalan ? Mungkin saja. Tapi bukankah Cadillac tua jauh lebih berharga dibandingkan produk baru yang hampir keluar setiap 6 bulan ?
Oh iya, Kedai Kopi Abu, Itu nama kedai kopinya. Dan... selamat bernostalgia... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar