Pagi
ini saya menyempatkan untuk kembali ke kedai kopi yang dulu rutin saya kunjungi
pada tahun 90an, 1996 tepatnya. Tidak banyak yang saya cari di kedai kopi tua
ini, hanya semangkuk bakmi dan secangkir kopi. Selain itu menu di kedai kopi
tua ini memang tidak banyak.
Selain
dari rasa yang ditawarkan, mungkin sebenarnya ada hal yang lebih dari itu yang
saya cari di sini. Mungkin lebih tepatnya nostalgia. Salah satu senior saya
pernah mengatakan, jika bisa dipersentasekan, maka kebahagiaan memiliki
beberapa fase atau pembagian, 15% kebahagiaan berada di kehidupan saat ini, 50%
kebahagiaan terletak pada masa depan (harapan) dan 35% terletak pada masa lalu
(nostalgia). Jadi selain kopi dan bakmi, ada sedikit nostalgia yang bisa
dijemput.
Kedai
kopi yang saya kunjungi ini termasuk sangat biasa dan tidak seperti kedai kopi
baru yang banyak bertebaran di setiap sudut Kota Padang saat ini. Tidak ada
mesin kopi modern, tidak ada varian rasa capuccino, caramel atau apapun jenis
kopi yang tengah booming saat ini. hanya kopi hitam, dengan atau tanpa susu.
That's it. Namun apa yang menjadikannya begitu terkenang ? Rasa dan penyajiannya
! Rasanya persis sama dengan yang saya rasakan belasan tahun yang lalu, dan
cangkir yang digunakan pun persis sama dengan yang digunakan belasan tahun yang
lalu.
Bangku-bangku
yang ada di kedai kopi ini masih menjaga aura tuanya. Tidak banyak pengunjung
ketika saya berkunjung menjelang siang ini. Ramainya kedai kopi ini ada pada
jam sarapan pagi. Tetapi itu bagus untuk saya, karena saya bisa duduk lebih
lama dan menikmati menyeruput kopi dan menghisap beberapa batang rokok.
Sesekali saya bercerita dengan pelayan yang masih sama dengan belasan tahun
yang lalu. Sama-sama bercerita mengenai masa lalu. Pada zamannya, kedai kopi
ini menyajikan kopi untuk orang-orang terpandang di kota ini, bahkan mungkin di
Sumatera Barat. sekelas Gubernur pun menikmati kopi di sini, karena memang pada
masa itu politik adanya di warung kopi, bukan di kantor pemerintahan apalagi di
rumah dinas.
Ada
pelajaran yang saya ambil saat saya melangkahkan kaki dari mobil yang saya
kendarai menuju kedai kopi ini. Nuansa mungkin berbeda, namun pijakan kaki dan
langkah saya masih sama dengan apa yang saya pijaki dulu. Lebih lanjut, saya
juga bersyukur dan salut, bahwa ada orang-orang yang tetap memegang prinsip dan
orisinallitasnya dalam hidup. Kedai kopi ini bisa saja membeli sebuah mesin
pembuat kopi yang canggih dengan begitu banyak deretan tombolnya, namun mereka
lebih memilih tetap mempertahankan tradisi lama di tengah modernisasi zaman.
Sendok, cangkir tua, kopi, gula, saringan dan air panas. Itu saja untuk
menghasilkan secangkir kopi yang akan anda rindukan. Ya... memang mereka
sedikit mengikuti perkembangan zaman, sekarang mereka sudah punya alat pemeras
jeruk, setahu saya dulu alat itu tidak ada.
Kita
bisa memakai filosofi kedai kopi ini dalam kehidupan, bisa juga tidak. Anda
mungkin akan menemukan banyak orang yang mendadak modern sepulangnya dari kota
besar, anda bisa menemukan orang yang mendadak lupa akan persahabatannya dulu,
atau mendadak lupa pada orang yang dulu pernah memberikannya bantuan dan lain
sebagainya. Saya menganggap mereka hanyalah permainan pasar. Sedangkan saya ?
Saya lebih memilih menjadi kedai kopi tua yang tetap setia pada ideologi dan
filosofi hidup saya. Ketinggalan ? Mungkin saja. Tapi bukankah Cadillac tua jauh lebih berharga
dibandingkan produk baru yang hampir keluar setiap 6 bulan ?
Oh
iya, Kedai Kopi Abu, Itu nama kedai kopinya. Dan... selamat bernostalgia...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar