Saya
tidak akan berdebat dengan ahli biologi mengenai pembahasan genetik, sama
halnya saya tidak akan membiarkan diri saya kalah berdebat mengenai
pemerintahan. Saya mungkin salah satu penulis yang paling muda atau paling
hijau yang menulis mengenai pemerintahan, namun saya menolak untuk bodoh di
bidang pemerintahan ini. Saya tidak akan membiarkan uang negara yang sudah membiayai
pendidikan saya sia-sia (tersenyum optimis).
Menyimak
salah satu tulisan dari Bapak Fachrul Rasyid, yang memuat Peringkat dan Status
Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah tanggal 24 April 2013 yang menyatakan
bahwa Pemerintah Propinsi Sumatera Barat berada di peringkat 25 dari seluruh
propinsi yang ada di Indonesia Raya ini. Apa yang keliru sebenarnya ? Rasanya
Gubernur Sumatera Barat kali ini adalah seorang Profesor, yang secara derajat
keilmuan sudah di tingkat yang paling tinggi. Tercatat ada beberapa Profesor
yang pernah memimpin Sumatera Barat ini, namun rasanya belum ada yang membawa
Sumatera Barat ke jurang “degradasi”.
Di
sini saya hanya menilai bahwa ada terdapat beberapa perbedaan yang mendasar
atas sebuah ilmu kepemimpinan. Sumatera Barat pernah dipimpin oleh Prof. Marlis
Rahman dan Prof. Fachri Ahmad (Wakil Gubernur). Dan pada periode 2010-2015
dipimpin oleh Prof. Irwan Prayitno. Yang membedakan profesor-profesor di atas
adalah latar belakang. Dua nama yang saya sebut pertama berlatar belakang
akademisi dan birokrat yang dihasilkan oleh Universitas Andalas, sehingga tidak
sulit bagi beliau itu untuk langsung tune
in dalam pemerintahan. Sementara Irwan Prayitno yang juga memiliki gelar
Profesor, berlatar belakang politik dan pendidik.
Rasanya
hampir semua orang sepakat untuk menyerahkan sesuatu kepada ahlinya. Pendek kata,
kalau anda menderita demam berdarah sudah hampir dipastikan anda akan
mengunjungi rumah sakit, bukan bengkel mobil.
Terdapat
banyak perbaikan dan sumbang saran yang tidak sedikit untuk membangun Sumatera
Barat. Namun yang lebih penting lagi, mustahil Sumatera Barat dibangun dengan
sistem one man show ataupun one man party. Politic is distribution, kira-kira itu yang pernah saya dengar dari
ahli politik, oleh karena itu distribusikanlah segala sesuatunya sesuai dengan
tempatnya. Kekuasaan memang menggiurkan dan melenakan, namun kekuasaan pun
memiliki tanggung jawab, memang pertanggungjawabannya biasanya tidak seketika,
namun sudah pasti ada beban moral yang dibawa.
Saya
sama sekali tidak paham, kenapa Sumatera Barat yang begitu bagus di media
lokal, ratusan pengharagaan diraih, kenapa malah amburadul di mata Kementerian Dalam
Negeri. Apa mungkin Kementerian Dalam Negeri salah data ? Wallahualam... Apa yang lemah ? Apakah seperti yang disampaikan
oleh Gubernur periode 2010-2015 yang menyatakan (dengan jumlah persentase
sebenarnya) bahwa sebagian besar aparatur pemerintahan Propinsi Sumatera Barat
tidak cakap kerja ? Saya punya beberapa sahabat di rumah bagonjong di jalan
Jenderal Sudirman ini, tunjangannya masya Allah besarnya, tidak seperti kami di
Kota Padang dulu tunjangan daerah kami kecil, tapi Alhamdulillah selalu ada
(heran jika ada yang mengatakan bahwa tunjangan daerah Kota Padang pernah dihilangkan),
saya rasa para pejabat keuangan di Kota Padang juga belum banyak berubah, tapi
bisa dimaklumi kenapa mereka tidak pernah menyampaikan fakta yang sebenarnya,
alasannya bisa jadi seperti yang disarankan oleh Kepala Kantor Kesbangpol Kota
Padang “ASN jangan terseret politik praktis”, tapi apakah menyampaikan sebuah
fakta itu sama artinya dengan berpolitik praktis ?
Lebih
lanjut, untuk apa tunjangan daerah yang begitu tinggi begitu diagung-agungkan,
kalau hanya untuk melahirkan sebuah kinerja yang lemah ? Sebenarnya permasalahan
ada di anak buah atau di bapak buah ?
Saya
juga sedikit mengikuti debat Pilgub beberapa hari yang lalu melalui radio
ternama di Kota Padang ini. Sebenarnya bukankah semua dari kita ini masih dalam
kondisi belajar ? Ada orang yang mampu membuat sebuah visi dan misi yang begitu
hebat terdengar smart dan jauh
melampaui alam pikiran logis manusia, namun yang dihitung adalah berapa item
yang dilaksanakan dari visi misi itu sendiri, bukan seberapa tinggi dan smartnya visi misi itu.
Pengalaman
dari sahabat saya yang pernah bersekolah di luar negeri sana, dia diminta untuk
mengulang tes wawancaranya hanya karena dia menjawab pertanyaan sederhana
seorang dosennya. “Apa yang pertama akan kamu lakukan setamatnya kamu dari
kampus ini ?” dengan percaya dirinya teman saya ini menjawab “saya akan
membangun Indonesia !”. Dosennya tersenyum dan berbicara kepadanya dengan
sangat lembut, “ilmu yang kau bawa dari sini belum cukup banyak untuk membangun
negaramu”. Karena jawabannya itu dia harus mengulang tes wawancaranya dan
kemudian mengganti jawabannya “saya akan mencoba membangun jembatan sederhana
yang bisa membantu akses keluar masuk kampung saya”. Kali ini si dosen
tersenyum “kalau untuk itu, ilmu yang kamu bawa dari sini sudah lebih dari
cukup”
Artinya
apa ? Saya bisa saja mengatakan akan menyekolahkan ribuan anak yatim, namun
sedekah lima ribu rupiah yang saya berikan besok pagi jelas akan lebih punya
makna. Saya bisa saja punya tiga gelar Phd dari tiga kampus ternama di dunia
ini yang bisa saya tuliskan di belakang nama saya, namun mengajarkan seorang
mualaf sepotong ayat Al-Fatihah jelas lebih punya makna.
Saya
mungkin tidak berlari kencang, hanya melangkah kecil, tapi itu sebuah langkah
kecil ke depan. Saya sudah pasti bukan seorang politisi yang punya ribuan
massa, tapi setidaknya saya punya teman untuk saya beritahukan. Saya mungkin
bukan guru, tenaga pengajar, dosen ataupun profesor yang terkenal, tapi
setidaknya saya tidak membodohi orang lain dengan sedikit ilmu yang saya miliki.
Cukup sekian semangatnya untuk malam ini. Jumpa lagi lain kesempatan.
Wassalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar