Rabu, 18 November 2015

YANG SALAH ANAK BUAH ATAU BAPAK BUAH SICH ?





Saya tidak akan berdebat dengan ahli biologi mengenai pembahasan genetik, sama halnya saya tidak akan membiarkan diri saya kalah berdebat mengenai pemerintahan. Saya mungkin salah satu penulis yang paling muda atau paling hijau yang menulis mengenai pemerintahan, namun saya menolak untuk bodoh di bidang pemerintahan ini. Saya tidak akan membiarkan uang negara yang sudah membiayai pendidikan saya sia-sia (tersenyum optimis).
Menyimak salah satu tulisan dari Bapak Fachrul Rasyid, yang memuat Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah tanggal 24 April 2013 yang menyatakan bahwa Pemerintah Propinsi Sumatera Barat berada di peringkat 25 dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia Raya ini. Apa yang keliru sebenarnya ? Rasanya Gubernur Sumatera Barat kali ini adalah seorang Profesor, yang secara derajat keilmuan sudah di tingkat yang paling tinggi. Tercatat ada beberapa Profesor yang pernah memimpin Sumatera Barat ini, namun rasanya belum ada yang membawa Sumatera Barat ke jurang “degradasi”.
Di sini saya hanya menilai bahwa ada terdapat beberapa perbedaan yang mendasar atas sebuah ilmu kepemimpinan. Sumatera Barat pernah dipimpin oleh Prof. Marlis Rahman dan Prof. Fachri Ahmad (Wakil Gubernur). Dan pada periode 2010-2015 dipimpin oleh Prof. Irwan Prayitno. Yang membedakan profesor-profesor di atas adalah latar belakang. Dua nama yang saya sebut pertama berlatar belakang akademisi dan birokrat yang dihasilkan oleh Universitas Andalas, sehingga tidak sulit bagi beliau itu untuk langsung tune in dalam pemerintahan. Sementara Irwan Prayitno yang juga memiliki gelar Profesor, berlatar belakang politik dan pendidik.
Rasanya hampir semua orang sepakat untuk menyerahkan sesuatu kepada ahlinya. Pendek kata, kalau anda menderita demam berdarah sudah hampir dipastikan anda akan mengunjungi rumah sakit, bukan bengkel mobil.
Terdapat banyak perbaikan dan sumbang saran yang tidak sedikit untuk membangun Sumatera Barat. Namun yang lebih penting lagi, mustahil Sumatera Barat dibangun dengan sistem one man show ataupun one man party. Politic is distribution, kira-kira itu yang pernah saya dengar dari ahli politik, oleh karena itu distribusikanlah segala sesuatunya sesuai dengan tempatnya. Kekuasaan memang menggiurkan dan melenakan, namun kekuasaan pun memiliki tanggung jawab, memang pertanggungjawabannya biasanya tidak seketika, namun sudah pasti ada beban moral yang dibawa.
Saya sama sekali tidak paham, kenapa Sumatera Barat yang begitu bagus di media lokal, ratusan pengharagaan diraih, kenapa malah amburadul di mata Kementerian Dalam Negeri. Apa mungkin Kementerian Dalam Negeri salah data ? Wallahualam... Apa yang lemah ? Apakah seperti yang disampaikan oleh Gubernur periode 2010-2015 yang menyatakan (dengan jumlah persentase sebenarnya) bahwa sebagian besar aparatur pemerintahan Propinsi Sumatera Barat tidak cakap kerja ? Saya punya beberapa sahabat di rumah bagonjong di jalan Jenderal Sudirman ini, tunjangannya masya Allah besarnya, tidak seperti kami di Kota Padang dulu tunjangan daerah kami kecil, tapi Alhamdulillah selalu ada (heran jika ada yang mengatakan bahwa tunjangan daerah Kota Padang pernah dihilangkan), saya rasa para pejabat keuangan di Kota Padang juga belum banyak berubah, tapi bisa dimaklumi kenapa mereka tidak pernah menyampaikan fakta yang sebenarnya, alasannya bisa jadi seperti yang disarankan oleh Kepala Kantor Kesbangpol Kota Padang “ASN jangan terseret politik praktis”, tapi apakah menyampaikan sebuah fakta itu sama artinya dengan berpolitik praktis ?
Lebih lanjut, untuk apa tunjangan daerah yang begitu tinggi begitu diagung-agungkan, kalau hanya untuk melahirkan sebuah kinerja yang lemah ? Sebenarnya permasalahan ada di anak buah atau di bapak buah ?
Saya juga sedikit mengikuti debat Pilgub beberapa hari yang lalu melalui radio ternama di Kota Padang ini. Sebenarnya bukankah semua dari kita ini masih dalam kondisi belajar ? Ada orang yang mampu membuat sebuah visi dan misi yang begitu hebat terdengar smart dan jauh melampaui alam pikiran logis manusia, namun yang dihitung adalah berapa item yang dilaksanakan dari visi misi itu sendiri, bukan seberapa tinggi dan smartnya visi misi itu.
Pengalaman dari sahabat saya yang pernah bersekolah di luar negeri sana, dia diminta untuk mengulang tes wawancaranya hanya karena dia menjawab pertanyaan sederhana seorang dosennya. “Apa yang pertama akan kamu lakukan setamatnya kamu dari kampus ini ?” dengan percaya dirinya teman saya ini menjawab “saya akan membangun Indonesia !”. Dosennya tersenyum dan berbicara kepadanya dengan sangat lembut, “ilmu yang kau bawa dari sini belum cukup banyak untuk membangun negaramu”. Karena jawabannya itu dia harus mengulang tes wawancaranya dan kemudian mengganti jawabannya “saya akan mencoba membangun jembatan sederhana yang bisa membantu akses keluar masuk kampung saya”. Kali ini si dosen tersenyum “kalau untuk itu, ilmu yang kamu bawa dari sini sudah lebih dari cukup”
Artinya apa ? Saya bisa saja mengatakan akan menyekolahkan ribuan anak yatim, namun sedekah lima ribu rupiah yang saya berikan besok pagi jelas akan lebih punya makna. Saya bisa saja punya tiga gelar Phd dari tiga kampus ternama di dunia ini yang bisa saya tuliskan di belakang nama saya, namun mengajarkan seorang mualaf sepotong ayat Al-Fatihah jelas lebih punya makna.
Saya mungkin tidak berlari kencang, hanya melangkah kecil, tapi itu sebuah langkah kecil ke depan. Saya sudah pasti bukan seorang politisi yang punya ribuan massa, tapi setidaknya saya punya teman untuk saya beritahukan. Saya mungkin bukan guru, tenaga pengajar, dosen ataupun profesor yang terkenal, tapi setidaknya saya tidak membodohi orang lain dengan sedikit ilmu yang saya miliki. Cukup sekian semangatnya untuk malam ini. Jumpa lagi lain kesempatan. Wassalam...    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar