Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Desember 2015

Partisipasi Pemilih Rendah, Salah Siapa ?



Hampir di setiap gelaran Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada), partisipasi pemilih hanya berada di ambang 50-60%. Jika sebagian orang beranggapan pemilihan langsung adalah sebuah bentuk “kemajuan” kita dalam berdemokrasi, maka bolehkah saya mengatakan tingkat persentase pemilih yang rendah ini sebagai kemunduran demokrasi ?
Jika kita bertanya salah siapa, maka hampir semua mata akan tertuju kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku event organizer (EO) dari setiap gelaran Pilkada ini. Namun jika boleh berjujur-jujur, sebenarnya bukan hanya kesalahan KPU. Bukankah gelaran Pilkada ini adalah sebuah “kemunduran” yang diseting sedemikian sistematisnya bagi Indonesia ? Namun jika saya mengatakan pemilihan langsung sebagai sebuah kemunduran, maka akan banyak yang akan menujukan pandangannya kepada saya, kenapa ? Semenjak diberlakukannya pemilihan langsung begitu banyak “lapangan kerja” yang terbuka. Mulai dari tim sukses, konsultan politik, lembaga survey sampai nanti pengusaha digital printing.
Sebagai contoh, sebuah lembaga survey biasanya harus bersikap netral, namun pada kenyataannya, mereka tidaklah senetral yang biasanya. Tambah lagi biasanya yang orang-orang yang mengisi lembaga survey ini adalah orang-orang yang terdidik alias dari kalangan akademisi. Idealnya akademisi akan menjaga netralitasnya demi keilmuannya, namun jika lembaga survey yang digawanginya sudah mengikat kontrak kerja sama dengan salah satu pasangan calon, masihkah ada netralitas itu ? Logika saya mengatakan tidak demikian. Tambah lagi di sisi lain, pandangan akademisi terhadap suatu hal tidak bisa dikatakan tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pandangan masyarakat luas. Karena bagi masyarakat mereka adalah akademisi, orang yang terdidik dan memiliki ilmu di bidangnya. Kasarnya, akademisi pun sudah menjadi bagian dari tim sukses ketika lembaga survey yang digawanginya mengikat kontrak kerja dengan salah satu pasangan calon.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), sudah bukan rahasia umum jika PNS pada umumnya selalu menjadi bagian dari timses. Terutama PNS yang menjadi pejabat kepala SKPD. Kapan hal semacam ini terjadi ? Hanya sejak diberlakukannya pemilihan langsung kepala daerah alias Pilkada. Setelah Pilkada usai maka “pembersihan” dimulai, dan balas jasa dilakukan sejalan. Hal ini baik jika yang terkena pembersihan adalah PNS-PNS yang tidak memiliki dedikasi terhadap tugasnya, namun mari berjujur-jujur saja, dedikasi akan tugas itu tidaklah menjadi bahan pertimbangan, sama sekali. Akibatnya adalah pemerintah daerah kehilangan potensi-potensi yang seharusnya bisa dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Saya tidak paham apakah ini juga bentuk kemajuan seperti yang diutarakan para “penggila demokrasi”.
Jika tidak salah ratusan triliun digelontorkan untuk membiayai penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, yang kemudian menghasilkan 50-60% partisipasi pemilih. Kemudian orang-orang berteriak masih banyak sekolah beratapkan langit di Papua ? Masih sulitnya akses jalan di Papua ? Masih rendahnya alokasi anggaran untuk pendidikan ? Lalu kita masih menganggap Pilkada sebagai kemajuan ? Bahkan dengan tingkat partisipasi mencapai 90% pun saya masih ragu akan “kemajuan demokrasi” yang diklaim oleh Pilkada ini. Kenapa ? Karena itu menunjukan kita tidak lagi sebuah bangsa yang terstruktur dan memiliki orang-orang yang ditinggikan seranting atau didahulukan selangkah. Kita justru terhanyut dalam euforia one person one vote, yang menganut azas persamaan, dimana suara orang yang tidak menempuh pendidikan akan sama dengan suara seorang profesor atau guru besar. Pertanyaan saya, dengan kondisi seperti itu apakah kita demokratis atau justru Marxis ?
Pasca Pilkada, ada berapa banyak konflik horizontal yang harus ditangani oleh Polri ? Berapa kerusuhan dan pengerusakan yang terjadi ? Demonstrasi yang kemudian berujung kepada tindakan anarkis. Apakah ini juga kemajuan kita dalam demokrasi ?
Juga jika tidak salah, cukup banyak kepala daerah yang dilahirkan dari Pilkada langsung justru berakhir dengan rompi oranye bertuliskan “TAHANAN KPK”. Saya juga ingin bertanya, apakah hal semacam ini juga bentuk kemajuan kita dalam berdemokrasi ? Salah siapa ? Salah si Kepala Daerah ? Atau justru lebih diakibatkan kesalahan sistem yang dibangun.
Saya tahu, dengan mengatakan Pilkada sebagai kegagalan, maka saya akan menghadapi pandangan dan komentar sinis dari para pemegang kepentingan dari Pilkada itu sendiri. KPU, Panwaslu, Lembaga Survey, Konsultan Politik, Timses, mungkin banyak lainnya. Namun Jika kita berpikir untuk Indonesia, bolehlah kita berjujur-jujur saja. Tidak satu pun negara maju di dunia yang menerapkan sistem pemilihan langsung dalam demokrasinya. Apakah kita sedang mencoba untuk menjadi yang pertama ? Well... Good luck !!!

Sabtu, 26 Desember 2015

MATI SAMUIK DEK GULO (Edisi Abuse Of Power)



Kemenangan Andi Taswin pada perkara yang menggugat Pemerintah Kota Padang, dalam hal ini Walikota Padang yang mengeluarkan SK Pemberhentiannya selaku Direktur Umum PDAM pada PTUN Padang, menjadi sebuah tamparan keras bagi Walikota Padang yang selama ini mengkampanyekan dirinya sebagai pejabat yang taas azas dan taat hukum. Kemenangan ini seperti sebuah oase di tengah gurun bagi golongan “minoritas” di Kota Padang.
Sebelumnya kemenangan yang diperoleh oleh Andi Taswin ini terjadi seperti di luar perkiraan, karena hampir semua sektor dikuasai oleh partai yang tengah berkuasa di Kota Padang saat ini. Namun Hakim yang memimpin sidang sepertinya tidak terpengaruh akan kekuasaan yang tengah berkuku di Kota Padang.
Hal ini menjadi perhatian bagi saya dikarenakan hal ini menjadi sebuah bukti nyata adanya abuse of power yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang. Hampir semua orang mafhum dan maklum dengan istilah “sakali aia gadang, tapian barubah”, namun dalam pemerintahan tentu ada azas-azas dan peraturan perundang-undangan yang harus menjadi landasan, bukan azas-azas yang “mendadak” dijadikan landasan ya... Dalam kasus ini Pemerintah Kota Padang dan Walikota Padang seakan-akan alpa dalam memperhatikan hal-hal penting sebelum membuat keputusan. Jika ditilik lebih jauh, sebenarnya praktek abuse of power ini cukup banyak terjadi, dan mungkin tidak hanya di Kota Padang saja. Bedanya terkadang penguasa mengambil jalan yang jauh lebih soft, alias tidak main hajar saja dengan kekuasaan yang tengah dipegang.
Lazimnya penguasa bisa “mengondisikan” apa saja yang dia inginkan, baik untuk menaikan seseorang, ataupun memberhentikan seseorang. Namun seperti yang saya sampaikan di atas, pengondisiannya lebih soft, tidak hantam kromo. Beberapa hal yang terjadi di Kota Padang, misalnya soal lelang jabatan, sudah diperlihatkan bahwa nilai tertinggi pada lelang jabatan tidak serta-merta akan membuat si pemegang nilai akan dilantik pada jabatan yang dia ikuti lelangnya. Hal ini karena pansel kembali menyerahkan tiga nama kepada Walikota untuk dipilih mana yang akan dilantik. Walhasil kondisi ini, berarti hanya menggantikan nama Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) menjadi Pansel (Panitia Seleksi). Karena keputusan akhirnya tetap pada Walikota, bukan pada hasil seleksi.
Jika saya boleh berpendapat, maka ada baiknya mekanisme promosi dikembalikan kepada Baperjakat saja. Hal ini akan meminimalisir perasaan kecewa bagi orang-orang yang merasa “dikerjai” oleh Walikota. Atau sebaliknya, mekanisme lelang jabatan itu dilaksanakan dengan benar-benar, dimana Walikota memang berpegang teguh kepada hasil seleksi dari panitia seleksi. Kondisi lelang jabatan atau juga dikenal dengan open bidding yang hanya setengah-setengah justru menjadi lelucon atau hanya menjadi jawab pelepas tanya, yang pada dasarnya tidak memberikan hasil sama sekali sebagaimana yang diharapkan dari lelang jabatan itu sendiri.
Euforia pemerintah yang memegang kekuasaan perlu dibatasi dan mengingat kembali bahwa Kota Padang adalah millik banyak orang dan banyak unsur. Sudah tidak zamannya memberlakukan kekuasaan sebagai satu-satunya tongkat komando yang bisa tunjuk sana-sini dan mengubah sana-sini. Ingat, pada masanya tidak satupun yang sanggup menentang Pak Harto, namun ketika tiba masanya Pak Harto pun juga tidak sanggup menghadang pengunduran dirinya.
Kekuasaan itu memang manis, namun jangan lupa “mati samuik dek gulo” alias jika tidak menimbang dan menakar dengan baik kekuasaan yang dimiliki, besar kemungkinan kekuasaanlah yang memberikan tamparan yang menyadarkan. Euforia yang berlebihan di Kota Padang terkadang sampai pada taraf yang menurut saya tidak masuk di akal, memberhentikan orang hidup, dan melantik yang sudah meninggal ? Ulah kekuasaan ? Atau memang yang memegang kekuasaan terlalu pendendam dan tertawa terlalu besar ketika mendapatkan kekuasaan sehingga lupa membuka mata ? 
Pada kesempatan ini baru Andi Taswin yang menunjukan perlawanannya, di masa yang akan datang bukan tidak mungkin akan banyak Andi Taswin lainnya yang memutuskan melawan dan kembali mencoreng muka Pemko Padang yang saat ini dipimpin seorang Walikota yang katanya sangat taat hukum. Oh iya, sebelum lupa, dengan dikabulkannya gugatan Andi Taswin oleh PTUN, maka besar kemungkinan Pemerintah Kota Padang akan melakukan banding, namun terlepas dari banding atau tidaknya, cukup taat hukum kah Walikota Padang untuk mematuhi hasil keputusan PTUN ? Saya tidak mengenalnya sebagai pribadi yang gentleman, jadi menurut saya I don’t think so. Wassalam...

Selasa, 22 Desember 2015

APAKAH SAYA ANTI PKS ?



Dalam percakapan saya sehari-hari dengan salah seorang kawan dia bertanya, kenapa saya terlihat begitu antipati terhadap salah satu partai politik yang saat ini tengah berkuasa di Sumatera Barat, Partai Keadilan Sejahtera alias PKS. Partai yang dulu bernama Partai Keadilan dan kemudian bertransformasi menjadi PKS seperti yang kita kenal sekarang.
Melalui tulisan kali ini saya akan mencoba menjawab rasa penasaran kawan saya ini, dan mungkin juga beberapa orang lain yang memiliki pertanyaan sama namun hanya belum sempat menanyakan. Apakah saya anti PKS ? Tidak, sama sekali tidak. Tapi apakah saya tidak menyukai cara mereka ? Ya, sebagian besar dari mereka. Karena boleh dipercaya atau tidak, saya malah memiliki hubungan silaturahmi yang baik dengan seorang kadernya. Adalah Bapak Marfendi, yang kemarin baru saja berlaga di Pilwako Bukittinggi kalau tidak salah. Sayang beliau tidak menang.
Ada hal lucu yang masih saya ingat sampai sekarang mengenai Bapak Marfendi ini. Saya masih ingat ketika itu saya berjumpa untuk pertama kalinya dan berkenalan secara resmi di salah satu gedung BUMD di kota Padang. Sifat beliau sangat cair, tidak menganggap saya berbeda, sesat apalagi kafir, hehehe... Beliau berbicara apa adanya kepada saya dan tidak dalam bahasa yang belum saya mengerti (bahasa Arab), kami bertukar pandangan dan semuanya mengalir dalam taraf yang sangat hangat dan saling menghormati. Saking ragunya saya, saya memilih untuk bertanya langsung kepada kader PKS yang satu ini,
“Lai sabana anggota PKS Apak ko Pak ?”
“Iyo... baa tu ?” Balas beliau diiringi tawa
“Hhmmm... Alun pernah awak basobok anggota PKS nan mode Apak ko lai...” balas saya
Beliau tertawa
“Bagi ambo ndak ado nan babeda kalau bakawan ko do Tom. Sadonyo ambo pakawanan, baik PKS ataupun bukan. Malah ambo akrab samo banyak anggota Fauzi dulu mah”
“Harusnyo PKS punyo banyak anggota mode Apak ko” jawab saya serius.
Saya tidak punya kepentingan dalam menyerang atau mengkritik PKS, setidaknya saya sebagai aparatur pemerintahan dan mahasiswa ilmu politik, saya berusaha seobjektif mungkin, walaupun bisa saja bagi sebagian orang saya masih sangat jauh dari objektif. Kalau boleh membandingkan, saya lebih suka sepak terjang Mahyeldi dibandingkan Irwan Prayitno. Mahyeldi mungkin punya beberapa kelemahan, tetapi siapa yang tidak ? Namun jika dibandingkan dengan IP, Mahyeldi a little bit better. Itu pendapat saya jika melihat hasil kerja mereka berdua di pemerintahan masing-masing. Satu di Kota Padang, satu lagi di Sumatera Barat. Karena menurut saya program betonisasi jalan yang dilanjutkan oleh Mahyeldi tentu lebih bermanfaat dibandingkan album lagu rohani.
Apakah penilaian saya di atas karena saya menyukai Mahyeldi ? Tidak sama sekali ! I don’t like him. Tapi saya juga tidak akan mengatakan kalau dia tidak berbuat apa-apa. Saya tidak suka cara komunikasinya, saya tidak suka cara dia merespon suatu peristiwa, saya tidak suka sifatnya yang iddle, not a risk taker, not a problem solver, not a commander. Tapi itu pandangan saya dulu. Sekarang, bisa saja beliau ini sudah tidak seperti itu, who knows ?
Jadi saya bukanlah seorang yang anti PKS. Jika Prof. Sahetapy mengatakan ada beberapa persamaan antara PKS dengan PKI, saya menganggap itu sebagai beberapa item yang mungkin memang sama. Kalaupun ada banyak orang yang tidak saya sukai dari PKS, ya mungkin karena hanya itu kader PKS yang saya kenal, jadi itu bisa dikatakan oknum. Seperti banyak orang tidak suka kader partai politik yang lain. Namun bagi saya, ketidaksukaan saya terhadap seseorang tidak berarti saya harus menutup mata terhadap kebaikan yang dia lakukan. Tidak suka ya sudah tidak suka saja. Saya bukan penganut paham gara-gara nila setitik rusa susu sebelanga. Itu tidak fair. Mungkin saja pandangan saya ini bisa menjadi pandangan bagi anggota partai politik mana saja yang menerapkan sistem sapu jagat ketika memperoleh kekuasaan.
Pergantian Presiden PKS yang baru-baru ini seolah memberi nafas baru bagi partai ini. sejauh ini saya merasa Presiden partai mereka yang baru ini adalah sebuah pilihan yang sangat baik. Jauh dari konflik, tenang, tidak mendewakan diri dan membawa kembali arti-arti dasar perjuangan dalam Islam. Itu hanya pandangan awal saja ya, karena saya bukanlah peneliti partai politik yang satu ini.
Bagi saya pribadi, PKS adalah satu-satunya partai di Indonesia saat ini yang berhasil memberikan pendidikan dan doktrin politik yang luar biasa kepada kadernya. Terlepas dari apa materi yang mereka sampaikan, tapi setidaknya mereka berhasil membuat mesin partai mereka berjalan dengan pergerakan kader-kader yang dimulai dari mahasiswa. Partai politik lain ? Hhmmm... money talk right ? Jika soal materi yang disampaikan oleh kader-kadernya, saya pribadi juga geleng-geleng kepala, karena kebetulan pernah datang ke rumah mertua saya. Kader-kader “polos” ini kerap menyampaikan sebuah berita yang saya yakin mereka sendiri tidak tahu kebenarannya, namun demikianlah hebatnya partai yang satu ini memberikan doktrin politik kepada kadernya. Benar atau salah nanti saja, yang jelas sekarang hajar dulu, hehehe... Mungkin ini kiranya yang dijadikan bahan pertimbangan mereka.
Semoga ke depan ada partai politik lain yang mampu mengimbangi PKS dalam melakukan pendidikan dan doktrin politik, tentunya dengan materi ajar dan materi doktrin yang lebih baik dan bermartabat. Kesampingkanlah dulu rupiah-rupiah itu, karena kalau tidak, anda akan memberikan karpet merah bagi PKS untuk berkuasa untuk puluhan tahun ke depan, dimulai dari Sumatera Barat dan selanjutnya Indonesia.
Pak Marfendi, jika ada kesempatan, lain kali kita berjumpa lagi. Semoga semakin sukses di masa yang akan datang. Dan semoga lebih banyak kader PKS seperti Bapak.
Wassalam...


Minggu, 06 Desember 2015

DAGELAN PSIKOLOGI POLITIK (Edisi Ahli Psikologi)



Berhubungan dengan kehebohan masalah “ahli psikologi” yang sedang berpolitik di sosial media, yang menghadirkan puluhan komentar, baik komentar yang masih ada, ataupun komentar yang sudah dihapus, maka melalui tulisan kali ini, saya dengan pengetahuan saya yang tidak terlalu tinggi akan coba mengulasnya secara umum. Tapi patut dicatat terlebih dahulu saya belumlah “ahli politik” apalagi “ahli psikologi”. Saya hanya tahu norma-norma yang berlaku umum dalam kehidupan bermasyarakat.
Psikologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari karakteristik, pikiran dan perilaku manusia. Sementara politik adalah ilmu yang mempelajari mengenai kekuasaan, cara mendapatkannya, cara menggunakannya dan cara mempertahankannya. Lalu apa hubungannya antara psikologi dan politik ? Pada satu titik dua disiplin ilmu ini akan bertemu dan menjadi satu. Politik yang berbicara mengenai kekuasaan individu atau kelompok manusia, sementara psikologi berbicara mengenai fenomena perilaku, karakter dan pikiran manusia yang memegang kekuasaan itu.
Adalah sebuah foto yang menggambarkan seorang calon gubernur Propinsi Sumatera Barat yang juga ahli psikologi terlihat sedang memberikan sebuah pengarahan di hadapan para guru TK dan PAUD yang bertempat di sebuah bangunan pemerintah, Palanta Rumah Dinas Walikota Padang. Tidak ada yang salah rasanya jika hal itu dilakukan oleh seorang Gubernur yang “ahli psikologi” atau seorang yang tidak sedang ikut pencalonan Gubernur tapi memang seorang yang ahlli psikologi. Sama halnya jika acara tersebut diselenggarakan setelah tanggal 9 Desember 2015 ini maka tidak akan menghadirkan sebuah polemik di media sosial.
Secara psikologi, rasanya seorang yang ahli psikologi tentu paham bahwa kegiatan itu kurang elok rasanya dilaksanakan. Hal itu sama halnya dengan anda datang makan siang ke rumah orang yang sedang berpuasa. Boleh ? Ya tentu boleh saja. Etis ? hhmmm... silahkan anda nilai sendiri. Seperti yang saya katakan sebelumnya, ada ribuan jawaban yang bisa diberikan untuk kejanggalan kegiatan yang menghadirkan salah satu calon gubernur yang didukung oleh partai dakwah itu. Dan memang terbukti, jawabannya adalah calon gubernur ini diundang sebagai ahli psikologi, bukan sebagai seorang Calon Gubernur. Kalau anda ingin tertawa, saya sangat mempersilahkan...
Hubungannya dengan politik. Politik dewasa ini sangat kental dengan nuansa menghalalkan segala cara. Anda dihalalkan menuduh saudara seiman dengan sebutan sesat, kafir, kristenisasi dan segala macam demi mencapai tujuan politik anda. Persis sama ketika zaman PKI masih ada di Indonesia yang bisa seenaknya memberikan julukan kabir (kapitalis birokrat), antek atau agen imperialis kepada lawan politiknya. Jadi secara psikologi, hal ini sebenarnya bertentangan, karena secara psikologis, seorang calon akan tahu dan paham bahwa perbuatannya akan terasa janggal, tapi secara politis hal itu halal saja dilakukan.
Dalam hal ini, bagi saya pasangan calon yang bertingkah seperti ini sama saja dengan Amerika Serikat yang selalu setia dengan standar gandanya. Jika pelaku penembakan adalah muslim maka akan dicap teroris, jika pelaku penembakan non muslim maka akan dianggap kejahatan kriminal biasa. Jika bom meledak di Paris dan menewaskan anak kecil maka akan dianggap teror, jika mereka mengirimkan bom ke Suriah maka itu dipandang sebagai tindakan heroik.
Saya melihat seseorang menuliskan kalimat, “Astaghfirullah, zaman sekarang ini masih ada yang berburuk sangka, segera istighfar dan seterusnya...” lebih kurang kalimatnya seperti itu. Pertanyaan saya, apakah tuan yang satu ini benar-benar muslim, atau hanya menjadi seorang muslim bagi hal yang menguntungkan baginya. Apakah memang tuan ini memiliki pengetahuan agama yang begitu tinggi, atau memang tuan ini hanya menganggap jutaan orang lain yang ada di Sumatera Barat ini sebagai pinokio (boneka kayu) saja ?
Jika seseorang menuduh salah satu calon gubernur melakukan kampanye terselubung yang difasilitasi oleh pemerintah kota, maka itu dianggap berburuk sangka. Namun jika pihak calon gubernur yang berkuasa ini menuduh pasangan calon lainnya dengan banyak hal buruk lainnya maka itu dipandang biasa saja ? Apakah itu tidak tergolong dalam buruk sangka juga ? Tentu saja tidak, karena anda sedang berkuasa bukan ? Dan tentu anda tidak akan menganjurkan orang yang sedang berkuasa ini untuk istighfar juga bukan ? Ah tuan... Tidak perlu menjilat untuk terlihat, tidak perlu mengonggong untuk ditolong dan tidak perlu menggigit untuk terlihat setia. Hidup tidaklah seanjing itu tuan...
Secara psikologis anda tahu yang anda lakukan janggal, tapi kemudian anda membiasakannya dan menganggap orang lain telah berburuk sangka. Di sisi lain anda tahu bahwa sebuah fakta telah anda putar balikan, dan anda memandangnya sebagai jihad ? Ah... Untung saja dulu saya tidak mengambil jurusan psikologi...