Sabtu, 31 Oktober 2015

APA yang SALAH dengan PENDIDIKAN KITA ?





Tidak satupun pendidikan yang mengajarkan untuk kaya di Indonesia. Rata-rata pendidikan cenderung mengajarkan untuk memahami suatu hal dan kemudian bekerja untuk perusahaan besar. Rata-rata guru akan berbangga hati jika anak muridnya bekerja di Chevron, Caltex, Antam atau perusahaan-perusahaan multinasional lainnya. Namun mereka akan memandang biasa-biasa saja kalau mantan muridnya membuka usaha pembuatan kerupuk, bengkel atau menjadi penulis. Kenapa ? Saya pribadi berpikir ini mungkin ada pengaruhnya terhadap berapa lamanya kita dijajah. Sehingga kita membiasakan diri untuk bekerja untuk seseorang, bukan untuk diri sendiri.
Sejarah dan budaya yang melekat pada bangsa kita tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja, namun hampir seluruh masyarakat Indonesia sepakat bagaimana kita begitu tertinggal jika dibandingkan negara tetangga. Tidak usah jauh, Malaysia saja. Ada pameo yang menyebutkan, jika dulu mereka mengirim guru untuk belajar di Indonesia, maka kini kita yang mengiri mahasiswa kita ke sana.
Banyak sekolah di Indonesia yang mengajarkan sebuah pendidikan formal yang kemudian tidak aplikatif begitu mereka menamatkan pendidikannya. Jika dalam standar akademis kita sudah minus, sama halnya dalam standar etika dan moral. Sudah tidak terhitung banyaknya kasus murid mendemo guru, murid unjuk rasa dan lain-lain. Apa yang mendasari mereka ? HAM ? Hak sebagai anak ? Karena saya menilai justru sejak banyaknya pemerhati anak justru kegilaan anak-anak terutama yang masih usia sekolah malah semakin menggila.
Saya terkenang akan masa pendidikan dasar dulu, dimana rotan dan mistar sudah menjadi makanan sehari-hari telapak tangan karena tidak mengerjakan PR sebagaimana mestinya, namun hal itu tidak serta merta membuat Ayah dan Ibu saya berlarian ke Polres terdekat untuk melaporkan tindakan “penganiayaan” oleh guru saya tersebut. Zaman sekarang ? Tidak sedikit guru yang harus meninggalkan jam mengajarnya karena harus memberikan keterangan di kantor polisi, dan bahkan ada yang sampai pengadilan.
Jadi jika saya pribadi memandang, sulit untuk mengharapkan hasil yang baik dari dunia pendidikan Indonesia. Secara ilmu kita tidak aplikatif, secara adab amburadul. Jika kita berusaha mencari apa yang salah, maka jawaban standar seperti biasanya, yang salah adalah seluruh stakeholders dunia pendidikan di Indonesia, yaitu pemerintah, murid, guru, orang tua dan banyak lainnya. Namun sampai kapan kita mampu menahan degradasi dunia pendidikan kita itu ? Mungkin secara akademis kita maju, namun maju sesuai dengan pencapaian masa lalu. Bukan maju dengan standar yang berlaku di sekeliling kita.
Banyak yang mengatakan kepintaran akademis tidak serta merta menjamin orang akan sukses, 100% benar. Banyak orang menjadikan Zuckerberg, Bill gates dan banyak orang kaya lain menjadi panutan, dan memang benar bahwa kebanyakan dari mereka adalah siswa drop out dari universitas ternama di negeri Paman Sam sana. Namun kita lupa, mungkin mereka tidak baik secara akademis, namun mereka luar biasa dengan adab dan kreatifitas mereka. Sehingga saya pribadi dapat menyimpulkan, bahwa keberhasilan seseorang bisa didapat dari 3 hal, yaitu :
·         Adab/Etika
·         Kreatifitas
·         Ilmu akademis
Banyak generasi muda di Indonesia menganggumi para penghuni Silicon Valley, namun mereka lupa untuk mencontoh dan menyamai kreatifitas dan originalitas mereka dalam berusaha. Mereka hanya sibuk mengatakan “Bill Gates yang terkaya di jagad raya aja drop out koq !” Namun mereka tidak pernah mencari tahu, apa yang dilakukan Bill Gates hingga sampai di drop out, yang pasti bukan main domino apalagi menyusun rumus kode buntut.
Semoga ke depan, kita tidak lagi terjebak dengan metode pendidikan yang mengelaskan antara si bodoh dengan yang pintar (karena di banyak kesempatan dan kenyataan si Pintar malah bekerja untuk si Bodoh), membuat murid gantung diri hanya karena tidak lulus ujian UN (karena orang yang saat ini dikenal dunia karena keberhasilannya malah tidak sempat menjalani UN mereka, keburu di drop out duluan Bro !). Wassalam...  

Jumat, 30 Oktober 2015

DOMINASI PKS DI SUMATERA BARAT



(image:www.nairaland.com)

Saya selalu tertarik mengupas salah satu partai politik papan atas di Indonesia ini. Bukan karena saya simpatisan atau kader partai ini, tidak sama sekali.  Tapi partai politik yang satu ini seolah bagaikan dua sisi koin dalam pandangan saya. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada awal cikal bakalnya dinamakan Partai Keadilan.
Partai yang satu ini bisa dikatakan konsisten dalam melaksanakan setiap agenda politiknya. Hampir di daerah-daerah strategis, partai ini bercokol sebagai the rulling party alias partai yang berkuasa. Sumatera Utara, Sumatera Barat bahkan DKI Jakarta sebagai Ibukota. Sebagai Partai yang tergolong baru jika dibandingkan dengan dedengkot-dedengkot partai politik di Indonesia seperti PDI, Golkar atau PPP, PKS mampu menunjukan sebuah permainan atau katakanlah perjuangan yang konsisten. Menarik untuk dibahas apa yang menjadikan partai yang katanya berjuang dengan jalan dakwah ini tetap mampu mempertahankan konsistensinya, di tengah gonjang-ganjing dan eskalasi politik yang meningkat di partai politik lain.
Hampir tidak ada keributan yang berarti ketika PKS melakukan regenerasi unsur pimpinan partai mereka. Baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah. Kondisi semacam ini pun tidak mampu diraih oleh Golkar ataupun PPP yang tentunya sudah lebih kenyang asam garam perpolitikan Indonesia. Golkar sibuk dengan dualisme kepemimpinan antara Munas Bali dan Munas Ancol, pun demikian halnya dengan PPP. PKS ? All is well, business as usual. Apa kiranya yang menjadi resep partai yang satu ini ? Akan coba kita bahas sesuai dengan pandangan dan analisa sederhana saya.
Sebagai salah satu Partai yang menjadi rising star di perpolitikan di Indonesia, PKS mampu menunjukan eksistensinya dari awal berdiri hingga kini. Seketika saya teringat akan generasi emas raksasa catalan, Barcelona FC. Hampir semua pecinta sepakbola mengenal Messi, Xavi, Iniesta, Valdes, Puyol dan banyak lainnya. Dan hampir semua pecinta sepakbola pun mengetahui bahwa nama-nama di atas adalah hasil jebolan La Masia, akademi sepakbola Barcelona. Mereka membawa El Barca menguasai Eropa selama bertahun-tahun.
Apa hubungannya dengan PKS ? Lebih kurang PKS melakukan hal yang sama. Walaupun setahu saya PKS belum membuka akademi atau sekolah politik, namun PKS mampu menjaring generasi-generasi muda untuk direkrut sebagai kader dan ditanamkan ideologi politik mereka. Bahkan saya menemui jika rekrutmen politik PKS sudah dimulai sejak calon-calon kader mereka menempuh pendidikan di universitas. Tidak ada partai politik lain yang mampu melakukan hal seperti ini, setidaknya belum ada yang serapi dan terstruktur seperti PKS.
Disamping rekrutmen kader yang terstruktur, PKS memilii semacam ideologi atau jalan perjuangan yang memang dipegang teguh oleh setiap simpatisan dan kader. Tidak seperti parpol lain yang amplitudo ideologi kadernya bisa sangat jauh, PKS memiliki amplitudo ideologi yang sangat kecil dalam hal ideologi mereka. Kader-kader PKS adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam memperjuangankan kemenangan mereka dalam pemilihan apa saja, tidak heran jika para kader dan simpatisan selalu hadir di TPS-TPS, karena bagi mereka itu adalah tonggak dari perjuangan. Jadi dapat disimpulkan para kader dan simpatisan PKS sudah memiliki pengetahuan yang tinggi dalam bidang politik, karena di kotak suara lah sumber dari segala kekuasaan, apakah itu kekuasaan politik, kekuasaan pemerintahan hingga kekuasaan ekonomi. Dan sekali lagi belum ada partai politik lain yang mampu mengimbangi militansi kader partai ini seperti yang disebutkan di atas.
Gerindra mampu mencuri perhatian pada Pemilu yang dilakukan tahun 2014 lalu, namun pandangan sederhana saya, itu semua dikarenakan figur Prabowo yang memang sulit untuk dicari tandingannya. Pertanyaan saya mampukah Gerindra melakukan hal yang sama saat Prabowo memutuskan pensiun dari dunia politik ? Sepertinya tidak. Berbeda dengan PKS siapapun pimpinan mereka baik tingkat pusat ataupun daerah sangat jarang menyebabkan terjadinya kekisruhan internal yang dapat melemahkan partai. Itu dapat dilihat dari pergantian para presiden PKS. Dimulai dari Nur Mahmudi Ismail hingga yang terakhir Sohibul Iman, semuanya melalui pergantian yang mulus.
Pertanyaan saya selanjutnya adalah, jika PKS sudah memperlihatkan diri mereka sebagai partai yang paling terstruktur dan militan, apa yang sebenarnya menjadi kelemahan partai ini ? Hampir seluruh masyarakat menghujat partai ini ketika terjadinya kasus LHI dan kemudian yang terakhir kasus Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho. Apa yang salah di sini ? Terkait kasus korupsi, kita semua harus sama-sama menyadari bahwa rata-rata korupsi hanya bisa dilakukan oleh the rulling party alias partai yang berkuasa. Di zaman Pak Harto tidak ada kader PDI yang korupsi karena mereka oposisi. Jika Demokrat saat ini banyak terlibat kasus korupsi, itu karena merekalah partai yang berkuasa pada periode sebelumnya. Begitu juga dengan PKS, karena mereka bagian dari koalisi. Intinya adalah, bahwa the rulling party kerap terjebak dengan kepentingan partai mereka sendiri dibandingkan terjebak dengan kepentingan bangsa dan negara. Sudah menjadi pameo bahwa jika PKS berkuasa maka yang akan menerima fasilitas paling banyak adalah kader mereka sendiri. Namun siapa yang bisa menyalahkan itu ? Bukankah begitu gaya bangsa kita dalam berpolitik ? Kebetulan kali ini yang melakukan adalah partai yang terkenal islami, makanya hujatan pun terasa lebih berat. Tapi memang, dari sekian banyak partai yang menjadi partai penguasa, terutama dari apa yang saya ihat di Sumatera Barat, PKS memang yang paling dominan dalam infiltrasi ke bidang pemerintahan. Sehingga tidak lagi objektif mana yang politik mana yang pemerintahan.
Kelemahan selanjutnya menurut saya adalah, PKS telah menjelma menjadi sebuah perkumpulan yang elit yang tidak terbuka kepada semua orang. Walhasil masyarakat yang tidak terafiliasi kepada PKS akan lebih cenderung memilih menjadi lawan. Hal semacam ini belum tentu terjadi di partai politik lain. Orang yang tidak mendukung Gerindra belum tentu otomatis menjadi lawan mereka, sama halnya dengan Golkar.
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, maka walaupun kerap terjebak dengan ideologi kepartaian yang di atas segalanya dan segala kelemahannya sebagai partai politik bukan tidak mungkin PKS akan menjelma menjadi partai papan atas yang sulit dicari tandingannya, khususnya di Sumatera Barat. Jika PAN tetap dengan pemikiran tradisional dan kekompakan yang di bawah rata-rata, maka Sumatera Barat tidak akan menjadi salah satu “daerah” PAN lagi. Tinggal berharap kepada Golkar, sang Jenderal Tua yang masih kokoh berdiri.

Kamis, 29 Oktober 2015

POLITIK DAERAH (CITA-CITA YANG TERLUPAKAN, UMPATAN YANG TERLAMBAT)



Oke, sesuai dengan salah satu permintaan yang masuk ke admin, maka kali ini kita akan membahas dinamika politik di daerah. Karena admin berasal dari Sumatera Barat maka pembahasan kita kali ini mungkin lebih banyak mengenai dinamika politik di daerah Sumatera Barat.
Politik sebagai salah satu proses dalam menjalankan demokrasi yang berujung kepada kekuasaan memiliki dinamika yang tidak terbatas. Idealnya politik harus dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat dengan pengetahuan yang memadai mengenai politik itu sendiri. Dalam kondisi yang semestinya, yang harus melaksanakan pendidikan politik adalah partai politik, namun bisa dikatakan belum ada partai politik yang mampu memberikan pendidikan politik yang optimal kepada masyarakat, malah terkesan partai politik lebih mirip dengan sebuah toko yang baru buka menjelang lebaran (pilkada/pemilu). Kondisi seperti ini tentu bukanlah kondisi terbaik.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, politik hanyalah bagian dari proses demokrasi menuju kekuasaan, lebih lanjut kekuasaan akan ditentukan oleh kotak suara yang tersebar di ribuan TPS. Kotak suara inilah yang akan menentukan siapa dan dari partai apa penguasa berikutnya. Kenapa saya katakan penguasa ? Secara ringkas saya bisa katakan begini, ketahuilah selama tingkat partisipasi di setiap pesta demokrasi itu rendah, maka tidak ada cerita kekuasaan berada di tangan rakyat seperti janji manis demokrasi itu. Non sense kepada Vox Populi Vox Dei. Thomas Jefferson salah satu Presiden legendaris AS pernah mengatakan, bahwa demokrasi tidak lebih dari sebuah gaya peraturan mafia, karena pihak yang mendapatkan 51% akan mendominasi 49% lainnya.
Butuh sekolah, daya juang dan integritas yang tinggi untuk berjuang dalam politik, namun tujuan utama dari partai politik bukanlah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, namun lebih kepada mengejar kekuasaan. Apakah anda yakin partai politik memberikan pendidikan politik kepada anda ? Jika pun ada, pendidikan politik macam apa yang diajarkan kepada anda ? bahwa dalam politik semua halal ? Kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak banyak masyarakat yang peduli kepada politik. Setidaknya itulah yang tercermin di Sumatera Barat. Jika belajar dari Pemilihan Walikota Padang tahun 2014 lalu, maka partisipasi pemilih hanya mencapai 57 persen. Bisa anda bayangkan sendiri seperti apa jadinya itu. Separuh masyarakat menggunakan hak suaranya untuk menentukan nasib setengah masyarakat lainnya.
Kondisi seperti disebutkan di atas, secara tidak langsung akan memberikan pengaruh kepada jalannya pemerintahan. Karena dengan rendahnya partisipasi pemilih, maka pemerintahan yang dihasilkan pun memilliki legitimasi yang rendah. Namun keuntungan bagi pemerintah adalah the show still go on. Mau legitimasi rendah atau tinggi pun, pemerintah akan tetap berjalan, yang jadi pertanyaan selanjutnya hanya seperti apa pemerintahan itu berjalan ?
Dibutuhkan idealisme dan pendidikan yang mumpuni untuk mempelajari cara kerja politik. Hampir di setiap pilkada kita mendengar kata-kata “fitnah”, “dizhalimi” dan “black campaign” itu salah satu bukti rendahnya pengetahuan dan idealisme kita dalam berpolitik, dan memang politisi-politisi pun tidak banyak yang memberikan contoh baik.
Hampir semua masyarakat membiacarakan politik jika telah memasuki masa Pilkada, tidak di kantor, warung bahkan di jalan, namun mereka yang bersuara lantang di warung-warung, kantor ataupun jalan-jalan malah terlambat bangun pagi untuk memberikan hak suaranya ke TPS yang telah ditentukan. Miris, namun itulah faktanya. Walhasil politik dan kekuasaan di daerah hanya untuk orang yang benar-benar menganggap politik adalah sebuah perjuangan, sebuah jihad untuk dimenangkan. Bagi sebagian besar lainnya, politik hanyalah pembicaraan warung kopi yang kemudian melahirkan umpatan kepada pemerintah yang diyakininya tidak mewakili dirinya, walaupun untuk memilih pemerintah yang akan mewakilinya pun mereka tidak sempat.
“Don’t ask what your country can give to you, but ask what you can give to your country” lebih kurang itulah kalimat legendaris yang diucapkan oleh Presiden termuda dalam sejarah AS Jhon Fitzgerald Kennedy dalam pidato pelantikannya. Jika tentara mampu memberikan nyawanya untuk bangsa ini, apa susahnya bagi kita semua untuk memberikan suara pada setiap proses demokrasi di negara ini. Setidaknya melalui suara itulah kita titipkan harapan dan cita-cita suatu daerah, bangsa dan negara ke depan. Wassalam...

Rabu, 28 Oktober 2015

PNS HARUS BERPOLITIK !



(image:beritatotabuan.com)


Menurut salah satu pakar ilmu manajemen George R Terry ada 5 hal yang mendasari dalam pengambilan keputusan, yaitu :
·         Intuisi
·         Pengalaman
·         Wewenang
·         Fakta
·         Rasional
Berdasarkan 5 dasar pengambilan keputusan itu saya bertanya-tanya, dasar mana yang diambil dalam mengambil keputusan haramnya politik bagi PNS. Karena begini di zaman yang katanya sudah serba demokrasi ini, kita dihadapi dalam pilihan, rapat dan keputusan politik setiap saat. Sial bagi orang-orang yang berprofesi sebagai PNS, TNI ataupun Polri, karena mereka tidak memiliki peluang dalam ikut berjuang bagi corps mereka dalam politik. Sementara keputusan kenaikan gaji PNS, kenaikan remunerasi Polri bahkan hingga keputusan menyatakan perang sekalipun adalah hasil keputusan politik.
Sebagai tulang-tulang dari penyelenggaraan negara yang terwujud dalam penyelenggaraan pemerintahan, mereka tidak memilliki hak untuk ikut serta dalam memperjuangkan visi mereka. Kenapa saya katakan visi ? Karena hampir semua orang akan berpendapat jika PNS diperbolehkan berpolitik dikhawatirkan mereka tidak akan netral dan kerap menuntut untuk kenaikan gaji atau tunjangan. Sementara ada begitu banyak aspek dibanding sekedar demo kenaikan gaji dari pegawai jika PNS diperbolehkan berpolitik. Sebagai PNS sudah hampir dipastikan mereka akan menjadi birokrat yang memahami seluk beluk pemerintahan, termasuk potensi, hambatan, tantangan yang dihadapi ke depan. Karena puluhan tahun mereka berkutat dengan hal seperti itu. Maka sedikit banyaknya mereka lebih paham akan tantangan dan visi ke depan, dibandingkan politisi yang bersifat karbitan, dan kerap terjebak pada visi-misi selama kampanye dan menyebabkan berubahnya arah pembangunan setiap 5 tahun, hal ini langsung memutus konsep pembangunan yang berkelanjutan. Dan yang seperti kita tahu, akhirnya banyak program pembangunan yang berjalan setengah-setengah.
 Terkadang kita terlebih dulu mengambil sebuah kesimpulan negatif dalam pengambilan keputusan, alhasil keputusan yang diambil pun didasarkan kepada prediksi yang negatif dan justru kerap mengabaikan kemungkinan-kemungkinan positif yang sebenarnya jauh lebih banyak. Tidak ada yang bisa memastikan apa alasan dibalik haramnya PNS dalam berpolitik, namun mungkin para petinggi di Jakarta sana memiliki pemikiran yang lain. Hal ini bertolak belakang seperti yang ada di zaman orde baru, dimana setiap elemen masyarakat memiliki perwakilan di lembaga poiitik terbesar di negeri ini DPR-RI. masih segar dalam ingatan keberadaan fraksi ABRI yang pada saat itu masih menjalankan dwi fungsi, dan memang pada zaman itu pembangunan berlangsung dengan tingkat kontinuitas yang tinggi, tentunya bukan tanpa alasan HM Soeharto dijuluki sebagai Bapak Pembangunan.
Dengan kejadian-kejadian miris yang menempa pemerintahan saat ini, baik dari tingkat pusat hingga ke daerah, tidakkah cukup layak kita meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang mengharamkan PNS berpolitik ? Karena pada kenyataannya, diakui atau tidak PNS harus berpolitik. Jika saat ini PNS berpolitik secara tertutup dan sembunyi-sembunyi untuk tujuan pribadi berupa jabatan, kenapa PNS tidak boleh berpolitik untuk memperjuangkan ide-ide kreatif dan idealisnya secara terbuka ? Toh jika pengambilan keputusan haramnya PNS berpolitik itu hanya didasarkan atas dugaan atau intuisi semata, maka rasanya itu adalah dasar terendah yang bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Wassalam...