Sabtu, 24 Oktober 2015

Hamka lebih dari sekedar Tafsir Al-Azhar

Beberapa hari terakhir ini, saya mengikuti beberapa kisah mengenai buya yang satu ini. Buya yang melalui pendiriannya sejatinya layak untuk diteladani. Buya Hamka, begitu beliau lebih dikenal, walaupun sebenarnya itu hanyalah nama pena beliau. Bisa jadi juga singkatan dari nama beliau H. Ahmad Malik Karim Amarullah. Generasi muda mungkin cenderung mengenal Buya Hamka sebagai ulama. Namun sesungguhnya beliau jauh lebih dari "sekedar" ulama. Setidaknya, setelah membaca beberapa kisah dan literatur mengenai beliau membuat saya sangat bangga sebagai orang Sumatera Barat. 

Buya Hamka, begitu biasa beliau dipanggil adalah salah seorang dari penegak pilar bangsa yang saat ini kita tinggali. Beliau tidak saja seorang ulama yang sangat dihormati namun lebih pada itu beliau juga merupakan seorang politisi yang memiliki pendirian teguh. Banyak kisah yang menceritakan tentang keteguhan beliau yang malah berbuah status tahanan politik di era orde lama. 

Buya Hamka adalah salah seorang yang menentang paling keras paham komunisme di Indonesia di samping Moh. Natsir. Sikap beliau yang tidak berkompromi terhadap ini menjadikan hubungan beliau yang pada saat itu terpandang sebagai politisi tingkat nasional begitu renggang dengan the founding fathers, Soekarno. Hubungan yang naik turun itu tercermin dari terpilihnya Buya Hamka untuk menjadi anggota konstituante yang berfungsi menyiapkan dasar-dasar negara Indonesia, ketua MUI, Anggota Masyumi dan berujung kepada tahanan politik. 

Hamka tidak menjalani kehidupan yang mulus pada zamannya, perjuangan beliau untuk mendalami ilmu agama dan kemudian menerima legitimasi masyarakat sebagai ulama tidak terjadi dalam semalam. Mungkin nama besar Ayahnya cukup membantu untuk membentuk pribadinya sebagai yang kita kenal, namun tetaplah tidak mudah untuk menjadi seorang Hamka. 

Hamka memiliki pendirian yang jelas dan cenderung terbebas dari segala bentuk tekanan, dalam arti kata lain beliau memiliki integritas yang kuat. Namun yang menjadikan semuanya lebih sulit lagi adalah, Hamka tidak hanya harus menjaga integritasnya yang tinggi sebagai politisi atau ulama saja, karena selain itu beliau adalah budayawan, dan juga sastrawan. Kehebatan beliau untuk tetap menjaga dedikasi dan integritas yang tinggi di semua profesi yang melekat atau yang beliau jalani. 

Hamka jugalah yang memperlihatkan sebuah kebesaran hati dan sifat gentleman asal Inggris yang mutlak harus dimiliki oleh seorang muslim dan juga pemimpin. Sudah cukup terkenal mengenai kisah Presiden Soekarno yang meminta Hamka untuk menjadi Imam shalat jenazahnya. Entah apa yang ada di pikiran proklamator kita ini, namun hampir dapat dipastikan itu adalah sebuah permintaan tulus dari hatinya, kepada orang yang pernah dipenjarakan dan diasingkan oleh pemerintahannya. Lebih lanjut entah apa yang ada di pikiran Buya Hamka, menerima permintaan terakhir dari orang yang pernah menjadikannya tahanan politik. Namun di sinilah letak warisan yang ditinggalkan oleh Buya Hamka dengan menyanggupi permintaan terakhir Soekarno tersebut. 

Banyak hal yang bisa dipelajari dari masa lalu. Dari orang-orang besar masa lalu. Jika Soekarno pernah mengatakan "Jangan sekali-sekali melupakan sejarah", mungkin ada benarnya. Sejarah memperlihatkan kepada kita, dua tokoh besar, yang berperang dalam hal ideologi, namun tetap memiliki kehormatan sebagai pemimpin dan tentu saja sebagai lelaki. 

Mungkin semakin sulit bagi kita untuk kembali menemui kisah seperti di atas di zaman yang serba kompetitif seperti saat ini, namun setidaknya kita bisa mencoba untuk meneladani dan mengetahui, bahwa ternyata Hamka tidak hanya meninggalkan kita sebuah Tafsir Al-Azhar, namun beliau meninggalkan sebuah sifat dan sikap negarawan yang layak dicontoh oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Wassalam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar