Senin, 26 Oktober 2015

ROBOHNYA DEMOKRASI



Selain menjadi mimpi bagi kaum yang tertindas tirani, demokrasi di sisi lain juga menjadi momok menakutkan bagi negara berkembang. Khususnya di Indonesia, demokrasi yang pada tahun 1998 terlihat seperti madu, akhir-akhir ini berubah menjadi racun.
Gelombang demokrasi yang telah menyapu Timur Tengah yang kemudian dikatakan oleh para ahli sebagai gelombang ketiga, perlahan mulai menyapu ke wilayah Asia. Dengan mayoritas negara yang masih dalam tahap negara berkembang, Asia memiliki nilai jual lebih dibandingkan dengan negara-negara Afrika. Selain sebagai pangsa pasar terbesar bagi negara-negara maju, Asia juga dianggap lebih strategis secara astronomis.
Gelombang demokrasi yang dimotori oleh negara-negara maju kerap dilandaskan atas azas kepentingan negara maju itu sendiri. Rata-rata dasar invasi terhadap sebuah negara merdeka lainnya adalah penyebaran demokrasi. Irak, Libia, Tunisia, dan Mesir menjadi contoh nyata. Terkhusus pada kasus Mesir, negara pelopor demokrasi seperti menelan ludah sendiri dengan terpilihnya Moh. Morsi sebagai Presiden dalam pemilu yang dianggap sebagai pemilu demokratis pertama di tanah Mesir. Kecelakaan demokrasi yang dipelopori oleh negara-negara superpower, berujung kepada dukungan kepada pengkhianatan terhadap pemilu dan berbalik arah mendukung kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Al Sisi. Artinya, tidak ada demokrasi di Mesir.  
Satu hal yang harus dipahami secara logika saja, jika demokrasi adalah kebebasan dalam menyatakan pendapat, maka dimana letaknya demokrasi dalam pemaksaan paham tersebut kepada negara-negara yang merdeka dan berdaulat. Ciri-ciri utama dari negara yang berdemokrasi adalah adanya partai politik dan adanya pemilu. Rata-rata negara yang kemudian pemerintahannya digulingkan atas dasar demokrasi itu adalah negara-negara yang memiliki sistem politik dan sistem pemilihan umum. Saddam Hussein yang oleh media barat digambarkan sebagai diktator pun masih menyelenggarakan pemilu, dan membolehkan partai politik selain Partai Baath untuk berdiri dan mengikuti pemilu.
Demam gelombang demokrasi di Asia mulai dirasa perlu oleh dunia barat ketika Sultan Hassanal Bolkiah sebagai Sultan Brunei memberlakukan hukum syariat islam di negaranya. Tidak pelak keputusan Sultan Brunei tersebut ramai dibicarakan oleh dunia internasional. Terkait tekanan barat tersebut, Sultan Bolkiah memiliki cara elegan dalam menyikapi respon barat tersebut, dan hukum syariat islam tetap diberlakukan, dan menampik semua gelombang demokrasi yang sepertinya mulai diarahkan kepadanya.
Tidak ada teori politik segamblang seperti yang disampaikan oleh Machiavelli dalam Il Principe, dan dewasa ini Il Principe justru lebih banyak dipraktekan dibandingkan ketika zaman Hitler ataupun Napoleon dulu. Bedanya Il Principe Machiavelli hari ini mendapatkan bungkus yang sedemikian manis bernama demokrasi.
Jika kita bisa sedikit beranekdot menggunakan Hukum Gravitasi yang berbunyi semua yang naik akan turun, maka dapat dikatakan gelombang ketiga demokrasi ini pun akan menemui klimaksnya. Mesir memiliki klimaks yang lebih cepat dari negara manapun, dimana demokrasi berubah menjadi demonstrasi dan berakhir dengan kudeta militer dalam waktu yang relatif singkat. Ke depan akan terdapat Irak yang tidak mungkin berdemokrasi karena telah terlalu sibuk dengan perang sipil sama halnya dengan Libia.
Indonesia selanjutnya akan menjadi kartu truf penting dalam perjalanan demokrasi dunia yang dipelopori oleh dunia barat. Banyak faktor yang menjadikan Indonesia sebagai anak emas negara-negara pelopor demokrasi. Selain sumber daya alam, letak strategis, jumlah penduduk, Indonesia seolah ditakdirkan sebagai pemain penting ekonomi dunia terutama di kawasa Asia. Kekayaan yang melimpah namun sumber daya manusia yang lemah menghasilkan gudang emas yang tidak terjaga. Masalahnya, rendahnya integritas dan ideologi pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia bisa menjadikan hal ini sebagai hulu ledak panjang yang bukan tidak mungkin akan meledak suatu hari nanti. Jatuhnya orde baru seharusnya dapat dijadikan pelajaran, bahwa selalu ada siklus terhadap segala sesuatunya. Bukan tidak mungkin Indonesia akan turun kembali ke jalan-jalan, menutup parlemen, dan pada akhirnya bukan tidak mungkin jatuh kepada perang saudara.
Ketidakpuasan rakyat Indonesia tidak sulit untuk dilihat, ada ribuan tulisan di media sosial mengenai rakyat yang mengeluh. Demokrasi belum terbukti dapat melahirkan kepemimpinan yang berintelektualitas dan berkualitas bagi Indonesia. Oleh karena itu bukan tidak mungkin sejarah kembali terulang, ketika itu terjadi, hampir dapat dipastikan bahwa negara-negara maju pun akan ikut ambil peran dalam kejatuhan tersebut.
Fakta empirik jugalah yang telah membuktikan bahwa gelombang demokrasi pada umumnya mendatangkan perang saudara, pemerintahan yang stagnan dan negara yang selamanya akan selalu berkembang dan tidak pernah maju.
Sejarah selalu berulang, yang membedakan hanya pelakunya (Tommy TRD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar