Selain
menjadi mimpi bagi kaum yang tertindas tirani, demokrasi di sisi lain juga
menjadi momok menakutkan bagi negara berkembang. Khususnya di Indonesia,
demokrasi yang pada tahun 1998 terlihat seperti madu, akhir-akhir ini berubah
menjadi racun.
Gelombang
demokrasi yang telah menyapu Timur Tengah yang kemudian dikatakan oleh para
ahli sebagai gelombang ketiga, perlahan mulai menyapu ke wilayah Asia. Dengan
mayoritas negara yang masih dalam tahap negara berkembang, Asia memiliki nilai
jual lebih dibandingkan dengan negara-negara Afrika. Selain sebagai pangsa
pasar terbesar bagi negara-negara maju, Asia juga dianggap lebih strategis
secara astronomis.
Gelombang
demokrasi yang dimotori oleh negara-negara maju kerap dilandaskan atas azas
kepentingan negara maju itu sendiri. Rata-rata dasar invasi terhadap sebuah
negara merdeka lainnya adalah penyebaran demokrasi. Irak, Libia, Tunisia, dan
Mesir menjadi contoh nyata. Terkhusus pada kasus Mesir, negara pelopor
demokrasi seperti menelan ludah sendiri dengan terpilihnya Moh. Morsi sebagai
Presiden dalam pemilu yang dianggap sebagai pemilu demokratis pertama di tanah
Mesir. Kecelakaan demokrasi yang dipelopori oleh negara-negara superpower,
berujung kepada dukungan kepada pengkhianatan terhadap pemilu dan berbalik arah
mendukung kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Al Sisi. Artinya, tidak
ada demokrasi di Mesir.
Satu
hal yang harus dipahami secara logika saja, jika demokrasi adalah kebebasan
dalam menyatakan pendapat, maka dimana letaknya demokrasi dalam pemaksaan paham
tersebut kepada negara-negara yang merdeka dan berdaulat. Ciri-ciri utama dari
negara yang berdemokrasi adalah adanya partai politik dan adanya pemilu.
Rata-rata negara yang kemudian pemerintahannya digulingkan atas dasar demokrasi
itu adalah negara-negara yang memiliki sistem politik dan sistem pemilihan
umum. Saddam Hussein yang oleh media barat digambarkan sebagai diktator pun
masih menyelenggarakan pemilu, dan membolehkan partai politik selain Partai
Baath untuk berdiri dan mengikuti pemilu.
Demam
gelombang demokrasi di Asia mulai dirasa perlu oleh dunia barat ketika Sultan
Hassanal Bolkiah sebagai Sultan Brunei memberlakukan hukum syariat islam di
negaranya. Tidak pelak keputusan Sultan Brunei tersebut ramai dibicarakan oleh
dunia internasional. Terkait tekanan barat tersebut, Sultan Bolkiah memiliki
cara elegan dalam menyikapi respon barat tersebut, dan hukum syariat islam
tetap diberlakukan, dan menampik semua gelombang demokrasi yang sepertinya
mulai diarahkan kepadanya.
Tidak
ada teori politik segamblang seperti yang disampaikan oleh Machiavelli dalam Il
Principe, dan dewasa ini Il Principe justru lebih banyak dipraktekan
dibandingkan ketika zaman Hitler ataupun Napoleon dulu. Bedanya Il Principe
Machiavelli hari ini mendapatkan bungkus yang sedemikian manis bernama
demokrasi.
Jika
kita bisa sedikit beranekdot menggunakan Hukum Gravitasi yang berbunyi semua
yang naik akan turun, maka dapat dikatakan gelombang ketiga demokrasi ini pun
akan menemui klimaksnya. Mesir memiliki klimaks yang lebih cepat dari negara
manapun, dimana demokrasi berubah menjadi demonstrasi dan berakhir dengan
kudeta militer dalam waktu yang relatif singkat. Ke depan akan terdapat Irak
yang tidak mungkin berdemokrasi karena telah terlalu sibuk dengan perang sipil sama
halnya dengan Libia.
Indonesia
selanjutnya akan menjadi kartu truf penting dalam perjalanan demokrasi dunia
yang dipelopori oleh dunia barat. Banyak faktor yang menjadikan Indonesia
sebagai anak emas negara-negara pelopor demokrasi. Selain sumber daya alam,
letak strategis, jumlah penduduk, Indonesia seolah ditakdirkan sebagai pemain
penting ekonomi dunia terutama di kawasa Asia. Kekayaan yang melimpah namun
sumber daya manusia yang lemah menghasilkan gudang emas yang tidak terjaga.
Masalahnya, rendahnya integritas dan ideologi pemimpin-pemimpin bangsa
Indonesia bisa menjadikan hal ini sebagai hulu ledak panjang yang bukan tidak
mungkin akan meledak suatu hari nanti. Jatuhnya orde baru seharusnya dapat
dijadikan pelajaran, bahwa selalu ada siklus terhadap segala sesuatunya. Bukan
tidak mungkin Indonesia akan turun kembali ke jalan-jalan, menutup parlemen,
dan pada akhirnya bukan tidak mungkin jatuh kepada perang saudara.
Ketidakpuasan
rakyat Indonesia tidak sulit untuk dilihat, ada ribuan tulisan di media sosial
mengenai rakyat yang mengeluh. Demokrasi belum terbukti dapat melahirkan
kepemimpinan yang berintelektualitas dan berkualitas bagi Indonesia. Oleh
karena itu bukan tidak mungkin sejarah kembali terulang, ketika itu terjadi,
hampir dapat dipastikan bahwa negara-negara maju pun akan ikut ambil peran
dalam kejatuhan tersebut.
Fakta
empirik jugalah yang telah membuktikan bahwa gelombang demokrasi pada umumnya
mendatangkan perang saudara, pemerintahan yang stagnan dan negara yang
selamanya akan selalu berkembang dan tidak pernah maju.
Sejarah selalu berulang, yang membedakan
hanya pelakunya (Tommy TRD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar