(image:beritatotabuan.com) |
Menurut
salah satu pakar ilmu manajemen George R Terry ada 5 hal yang mendasari dalam
pengambilan keputusan, yaitu :
·
Intuisi
·
Pengalaman
·
Wewenang
·
Fakta
·
Rasional
Berdasarkan
5 dasar pengambilan keputusan itu saya bertanya-tanya, dasar mana yang diambil
dalam mengambil keputusan haramnya politik bagi PNS. Karena begini di zaman
yang katanya sudah serba demokrasi ini, kita dihadapi dalam pilihan, rapat dan
keputusan politik setiap saat. Sial bagi orang-orang yang berprofesi sebagai PNS,
TNI ataupun Polri, karena mereka tidak memiliki peluang dalam ikut berjuang
bagi corps mereka dalam politik. Sementara keputusan kenaikan gaji PNS,
kenaikan remunerasi Polri bahkan hingga keputusan menyatakan perang sekalipun
adalah hasil keputusan politik.
Sebagai
tulang-tulang dari penyelenggaraan negara yang terwujud dalam penyelenggaraan
pemerintahan, mereka tidak memilliki hak untuk ikut serta dalam memperjuangkan
visi mereka. Kenapa saya katakan visi ? Karena hampir semua orang akan
berpendapat jika PNS diperbolehkan berpolitik dikhawatirkan mereka tidak akan
netral dan kerap menuntut untuk kenaikan gaji atau tunjangan. Sementara ada
begitu banyak aspek dibanding sekedar demo kenaikan gaji dari pegawai jika PNS
diperbolehkan berpolitik. Sebagai PNS sudah hampir dipastikan mereka akan
menjadi birokrat yang memahami seluk beluk pemerintahan, termasuk potensi,
hambatan, tantangan yang dihadapi ke depan. Karena puluhan tahun mereka
berkutat dengan hal seperti itu. Maka sedikit banyaknya mereka lebih paham akan
tantangan dan visi ke depan, dibandingkan politisi yang bersifat karbitan, dan
kerap terjebak pada visi-misi selama kampanye dan menyebabkan berubahnya arah
pembangunan setiap 5 tahun, hal ini langsung memutus konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Dan yang seperti kita tahu, akhirnya banyak program pembangunan
yang berjalan setengah-setengah.
Terkadang kita terlebih dulu mengambil sebuah
kesimpulan negatif dalam pengambilan keputusan, alhasil keputusan yang diambil
pun didasarkan kepada prediksi yang negatif dan justru kerap mengabaikan
kemungkinan-kemungkinan positif yang sebenarnya jauh lebih banyak. Tidak ada
yang bisa memastikan apa alasan dibalik haramnya PNS dalam berpolitik, namun
mungkin para petinggi di Jakarta sana memiliki pemikiran yang lain. Hal ini
bertolak belakang seperti yang ada di zaman orde baru, dimana setiap elemen
masyarakat memiliki perwakilan di lembaga poiitik terbesar di negeri ini
DPR-RI. masih segar dalam ingatan keberadaan fraksi ABRI yang pada saat itu
masih menjalankan dwi fungsi, dan memang pada zaman itu pembangunan berlangsung
dengan tingkat kontinuitas yang tinggi, tentunya bukan tanpa alasan HM Soeharto
dijuluki sebagai Bapak Pembangunan.
Dengan
kejadian-kejadian miris yang menempa pemerintahan saat ini, baik dari tingkat
pusat hingga ke daerah, tidakkah cukup layak kita meninjau kembali peraturan
perundang-undangan yang mengharamkan PNS berpolitik ? Karena pada kenyataannya,
diakui atau tidak PNS harus berpolitik. Jika saat ini PNS berpolitik secara tertutup dan sembunyi-sembunyi untuk
tujuan pribadi berupa jabatan, kenapa PNS tidak boleh berpolitik untuk
memperjuangkan ide-ide kreatif dan idealisnya secara terbuka ? Toh jika
pengambilan keputusan haramnya PNS berpolitik itu hanya didasarkan atas dugaan atau intuisi
semata, maka rasanya itu adalah dasar terendah yang bisa digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan. Wassalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar