Sabtu, 24 Oktober 2015

PILKADA, ANTARA APATISME DAN PENIPUAN



Pemilihan Kepala Daerah, baik itu tingkat kabupaten dan kota maupun tingkat propinsi melalui pemilihan Gubernur menjadi hal yang sudah awam bagi masyarakat Indonesia satu dekade terakhir. Pemilihan kepala daerah ini dengan sistem pemilihan langsung telah menjadi semacam kontes popularitas seperti yang banyak acara pencarian bakat yang ditayangkan hampir seluruh stasiun televisi.
Aspek popularitas dalam kontes pemilihan kepala daerah ini seolah-olah menjadi sebuah hal yang wajib dan tidak dapat dipisahkan dari proses pemilihan kepala daerah itu sendiri. Hal ini dapat kita saksikan melalui banyaknya baliho-baliho bakal calon kepala daerah yang menghiasi setiap titik strategis kota menjelang pemilihan.
Harus diakui baliho-baliho tersebut dibuat semenarik mungkin dengan foto bakal calon yang sangat besar. Tidak terdapat sebuah kalimat atau kajian teknis pada baliho tersebut namun selalu dituliskan sebuah cita-cita yang akan diraih di masa yang akan datang bagi seorang bakal calon untuk daerah pemilihannya.
Belajar dari pemilihan kepala daerah yang sudah berlangsung di Propinsi Sumatera Barat dan Kota Padang, hasilnya juga sangat mirip dengan hasil ajang pencarian bakat yang ditayangkan di televisi, dimana pemenang ternyata tidak mampu bertahan di puncak popularitas dan produktifitas untuk jangka waktu yang lama. Bahkan runner-up justru memiliki karir dan masa depan yang lebih gemilang. Hal ini juga seakan-akan terjadi pada kontes pemilihan kepala daerah, dimana cukup banyak masyarakat yang menyatakan penyesalan dalam menggunakan hak suaranya dengan memilih sosok yang ternyata tidak memiliki niat yang baik dalam membangun daerah ini, namun sudah terlanjur tertipu dengan kemasan yang begitu baik dan manis.
Sumatera Barat telah membuktikan diri dengan berhasil bertahan sebagai propinsi yang bisa dikatakan medioker menurut pendapat saya, karena tidak mengalami penurunan dalam publisitas, namun juga tidak memiliki peningkatan dalam hal yang sama. Sumatera Barat memang berhasil memenangkan begitu banyak penghargaan tingkat nasional, namun harus diakui penghargaan-penghargaan tersebut sebagian besarnya tidak menyentuh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut lagi hasil pembangunan yang ada di Sumatera Barat saat ini ternyata adalah hasil buah pikir dan kreatifitas para pemimpin terdahulu dari propinsi serambi Mekah ini. Namun satu hal yang sangat sering terjadi adalah sejarah kerap ditulis oleh tangan penguasa, sehingga terkadang yang terjadi adalah pemutarbalikan fakta terhadap satu atau banyak kejadian.
Pembangunan Kelok Sembilan bukanlah hasil kerja dari orang yang baru bekerja selama tiga, empat atau lima tahun. Tapi itu adalah buah pikir dan usaha dari pemimpin yang jauh lebih dahulu memimpin propinsi ini, Zainal Bakar. Mesjid Raya Sumatera Barat juga bukan baru didirikan dua atau tiga tahun belakangan, melainkan sudah dicanangkan oleh salah satu putra terbaik Sumatera Barat, Gamawan Fauzi. Namun hasil cipta, karsa dan karya para pendahulu tersebut bisa diklaim oleh orang-orang yang memang pada saat ini memegang pena dan stempel kekuasaan.
Hal semacam ini menunjukan kepada kita semua bahwa sudah semakin kurangnya jumlah lelaki dan pemimpin yang mampu bersikap fair dan gentle layaknya seorang pemimpin. Memang dalam politik, semuanya seperti dihalalkan, namun setahu saya yang menggunakan cara-cara seperti itu adalah partai-partai yang berhaluan kiri, yang sampai saat ini pun bisa diragukan kebenarannya. Kesengajaan tidak memberikan masyarakat pendidikan politik yang baik, dan kesengajaan dalam membuat tingkat partisipasi pemilih tetap rendah telah menghasilkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuasaan namum tidak memiliki legitimasi. Kekuasaan kerap digunakan sebagai sebuah hak kelompok. Hal-hal yang terjadi itu sungguh dapat dikatakan sebagai pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Sudah waktunya masyarakat memahami kondisi dan keadaan yang sebenarnya. Sudah saatnya masyarakat menerima pemahaman politik yang lebih baik, yang lebih jujur dan tidak terpaku pada sebuah kemasan yang terkesan begitu halus, namun ternyata tidak memiliki niat yang baik, tidak saja sebagai pemimpin, namun sebagai manusia. Apatisme kita sebagai masyarakat dengan tidak terlibat dan tidak memilih dalam sebuah pemilihan telah memberikan sebuah hasil buruk yang akan berlangsung selama lima tahun, dan akan memberikan mereka peluang untuk kembali membodohi kita semua untuk lima tahun berikutnya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar