Pemilihan
Kepala Daerah, baik itu tingkat kabupaten dan kota maupun tingkat propinsi
melalui pemilihan Gubernur menjadi hal yang sudah awam bagi masyarakat
Indonesia satu dekade terakhir. Pemilihan kepala daerah ini dengan sistem
pemilihan langsung telah menjadi semacam kontes popularitas seperti yang banyak
acara pencarian bakat yang ditayangkan hampir seluruh stasiun televisi.
Aspek
popularitas dalam kontes pemilihan kepala daerah ini seolah-olah menjadi sebuah
hal yang wajib dan tidak dapat dipisahkan dari proses pemilihan kepala daerah
itu sendiri. Hal ini dapat kita saksikan melalui banyaknya baliho-baliho bakal
calon kepala daerah yang menghiasi setiap titik strategis kota menjelang
pemilihan.
Harus
diakui baliho-baliho tersebut dibuat semenarik mungkin dengan foto bakal calon
yang sangat besar. Tidak terdapat sebuah kalimat atau kajian teknis pada baliho
tersebut namun selalu dituliskan sebuah cita-cita yang akan diraih di masa yang
akan datang bagi seorang bakal calon untuk daerah pemilihannya.
Belajar
dari pemilihan kepala daerah yang sudah berlangsung di Propinsi Sumatera Barat
dan Kota Padang, hasilnya juga sangat mirip dengan hasil ajang pencarian bakat
yang ditayangkan di televisi, dimana pemenang ternyata tidak mampu bertahan di
puncak popularitas dan produktifitas untuk jangka waktu yang lama. Bahkan
runner-up justru memiliki karir dan masa depan yang lebih gemilang. Hal ini
juga seakan-akan terjadi pada kontes pemilihan kepala daerah, dimana cukup
banyak masyarakat yang menyatakan penyesalan dalam menggunakan hak suaranya
dengan memilih sosok yang ternyata tidak memiliki niat yang baik dalam
membangun daerah ini, namun sudah terlanjur tertipu dengan kemasan yang begitu
baik dan manis.
Sumatera
Barat telah membuktikan diri dengan berhasil bertahan sebagai propinsi yang
bisa dikatakan medioker menurut pendapat saya, karena tidak mengalami penurunan
dalam publisitas, namun juga tidak memiliki peningkatan dalam hal yang sama.
Sumatera Barat memang berhasil memenangkan begitu banyak penghargaan tingkat
nasional, namun harus diakui penghargaan-penghargaan tersebut sebagian besarnya
tidak menyentuh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut lagi hasil
pembangunan yang ada di Sumatera Barat saat ini ternyata adalah hasil buah
pikir dan kreatifitas para pemimpin terdahulu dari propinsi serambi Mekah ini.
Namun satu hal yang sangat sering terjadi adalah sejarah kerap ditulis oleh
tangan penguasa, sehingga terkadang yang terjadi adalah pemutarbalikan fakta
terhadap satu atau banyak kejadian.
Pembangunan
Kelok Sembilan bukanlah hasil kerja dari orang yang baru bekerja selama tiga,
empat atau lima tahun. Tapi itu adalah buah pikir dan usaha dari pemimpin yang
jauh lebih dahulu memimpin propinsi ini, Zainal Bakar. Mesjid Raya Sumatera
Barat juga bukan baru didirikan dua atau tiga tahun belakangan, melainkan sudah
dicanangkan oleh salah satu putra terbaik Sumatera Barat, Gamawan Fauzi. Namun
hasil cipta, karsa dan karya para pendahulu tersebut bisa diklaim oleh
orang-orang yang memang pada saat ini memegang pena dan stempel kekuasaan.
Hal
semacam ini menunjukan kepada kita semua bahwa sudah semakin kurangnya jumlah
lelaki dan pemimpin yang mampu bersikap fair dan gentle layaknya seorang
pemimpin. Memang dalam politik, semuanya seperti dihalalkan, namun setahu saya
yang menggunakan cara-cara seperti itu adalah partai-partai yang berhaluan
kiri, yang sampai saat ini pun bisa diragukan kebenarannya. Kesengajaan tidak
memberikan masyarakat pendidikan politik yang baik, dan kesengajaan dalam
membuat tingkat partisipasi pemilih tetap rendah telah menghasilkan
pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuasaan namum tidak memiliki legitimasi.
Kekuasaan kerap digunakan sebagai sebuah hak kelompok. Hal-hal yang terjadi itu
sungguh dapat dikatakan sebagai pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Sudah
waktunya masyarakat memahami kondisi dan keadaan yang sebenarnya. Sudah saatnya
masyarakat menerima pemahaman politik yang lebih baik, yang lebih jujur dan
tidak terpaku pada sebuah kemasan yang terkesan begitu halus, namun ternyata
tidak memiliki niat yang baik, tidak saja sebagai pemimpin, namun sebagai
manusia. Apatisme kita sebagai masyarakat dengan tidak terlibat dan tidak
memilih dalam sebuah pemilihan telah memberikan sebuah hasil buruk yang akan
berlangsung selama lima tahun, dan akan memberikan mereka peluang untuk kembali
membodohi kita semua untuk lima tahun berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar