Senin, 30 November 2015

PROFESOR KOBOI (Tribute to Prof. Dr. Riswandha Himawan)



Masih seputar Prof. Dr. Riswandha Himawan, tapi kali ini saya akan sedikit bercerita mengenai sebuah arti dari konsistensi. Perlu saya sampaikan sebelumnya bahwa saya bukanlah mahasiswa langsung dari profesor yang satu ini. Saya juga tidak mengenal beliau secara pribadi. Tapi melalui jejak yang beliau tinggalkan di google, saya menemukan sebuah kisah tersendiri yang mungkin menarik untuk dibahas dan diteladani.
Sebagai seorang pendidik dan guru besar politik, sudah sepatutnya profesor ini dekat dengan lingkaran kekuasaan. Jikalau pun fisiknya tidak dekat, tapi tulisan-tulisan beliau jelas sangat dekat dengan perpolitikan tanah air. Profesor Koboi, begitu beberapa orang menjulukinya. Sebuah julukan yang wajar dan apa adanya, persis seperti karakter beliau yang memang apa adanya. Menggunakan celana jeans tidak lantas menghilangkan ilmunya sebagai profesor dalam mengajar, sama halnya berpidato dengan menggunakan ayat-ayat suci tidak lantas menjadikan seseorang di antrian nomor satu untuk masuk surga.
Satu kelebihan profesor ini di mata saya adalah teguhnya pendirian beliau untuk tidak terjerumus ke dalam politik praktis. Saya mengidolakan banyak profesor, saya juga lebih banyak menyimak profesor lain sebelumnya. Apakah itu Kwik Kian Gie atau Yusril Ihza Mahendra. Saya sangat mengagumi dua nama ini dalam konteks akademis sekaligus menghormati sepak terjang beliau berdua dalam perpolitikan Indonesia. Tapi bagi profesor koboi ini, saya murni mengagumi beliau ini sebagai seorang pendidik yang teguh pada pendiriannya.
Melihat sosok almarhum Riswandha Himawan ini saya bisa mengkomparasikannya dengan banyak hal. Saya juga menemukan begitu banyak profesor yang berbicara dengan retorika yang sangat tinggi hingga menembus langit ketujuh, namun bertindak tidak sesuai dengan kenyataannya. Kita bisa menemukan profesor seperti ini dalam dunia politik. Padahal antara dua profesi ini (politisi dan tenaga pendidik) memiliki sebuah perbedaan yang mendasar. Ada pepatah modern yang mengatakan perbedaan antara politisi dan tenaga pengajar (yang mana profesor masuk ke dalamnya) secara garis besar hanya satu. Profesor atau tenaga pengajar boleh salah, tapi tidak boleh bohong, sementara sebagai politisi anda boleh berbohong ribuan hingga jutaan kali, tapi jangan pernah sekali-kali mengaku salah, ironis. Namun mungkin inilah yang menjadi dasar profesor yang terkenal dengan slogan eagle flies alone ini memutuskan untuk tetap berdedikasi pada bidang yang ditekuninya, yaitu sebagai pendidik.
Di zaman kemajuan saat ini, kita bisa melihat banyaknya individu dengan berbagai latar belakang kemudian terjun ke dunia politik. Kita bisa sebut apa saja profesinya. Ulama, developer, pedagang, militer, jaksa, polisi, ASN, dosen, ibu rumah tangga, dan banyak lainnya. Semua profesi itu sudah ada dalam dunia politik Indonesia saat ini, kenapa ? Karena hampir setiap perjuangan di Indonesia ini adalah proses politik. Apakah itu perjuangan usaha, perjuangan karir, perjuangan ekonomi, dan lain-lain.  Walhasil kita memiliki politik yang sangat multi dimensi dan kemudian menjadi multi problem.  
Sudah jelas kita membutuhkan banyak lagi Riswandha Himawan yang lain, sosok yang teguh dengan pendirian. Saya masih ingat ketika almarhum Zainuddin MZ memilih terjun ke politik, dan hasilnya berantakan. Pada akhirnya beliau dikenal sebagai politisi yang gagal, namun tetap dikenal sebagai da’i sejuta umat. Jadi beliau hanya gagal sebagai politisi, tapi tidak sebagai Da’i. Celakanya sudahlah gagal sebagai Da’i, juga gagal sebagai politisi. Ini tidak tahu harus dikenang sebagai apa.
Kenapa tidak banyak orang yang berjuang untuk memperbaiki keadaan ? Lebih banyak orang yang memilih diam dengan segala informasi yang mereka milliki, yang mungkin saja bisa memperbaiki keadaan dan mengungkapkan kebenaran. Seperti yang dikatakan oleh Profesor Koboi ini, Eagle Flies Alone... Elang terbang sendiri, sama halnya hanya ada satu Ernesto “Che” Guevarra, hanya satu Fidel Castro, hanya satu Soekano, hanya satu Nelson Mandela, hanya satu Saddam Hussein, hanya satu Muammar Qaddafi. Mereka orang-orang yang menentang sebuah mainstream, dan mereka memang tidak banyak.
Walaupun sangat terlambat, selamat jalan Prof...

IRONI SUMATERA BARAT (Tribute to Prof. Dr. Riswandha Himawan, Eagle Flies Alone...)



Lima tahun pasca pemilihan Gubernur Sumatera Barat yang lalu, Sumatera Barat belum bisa menunjukan tajinya. Sumatera Barat sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif pada sebuah artikel di Republika menjelaskan Sumatera Barat berada pada posisi papan bawah dari keseluruhan propinsi yang ada di Indonesia.
Saya sendiri juga berpandangan demikian, namun hendaknya kita semua ikut mencarikan solusi. Pucuk pemerintahan yang berasal dari partai politik kadang kerap tersandera kepentingan partainya sendiri ketimbang kepentingan masyarakat di Propinsi yang mereka pegang. Hal ini terjadi karena kerap kali partai politik menganggap kadernya yang menjadi pejabat kepala daerah atau pimpinan daerah masih sebagai “anggota” partai politiknya, sehingga si kepala daerah malah berfungsi layaknya mesin ATM bagi partai politiknya.
Kondisi yang dijelaskan di atas sudah tentu merembet ke bawah, ke level kepala-kepala SKPD seperti kepala dinas dan pejabat pemerintahan pemegang anggaran. Makanya tidak jarang kita menemui salah seorang pejabat Kepala SKPD akan makan bersama di restoran dengan salah seorang pentolan atau petinggi partai politik pemegang kekuasaan sambil membawa Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Kita tidak bisa lagi menafikan situasi-situasi yang sebenarnya sudah terjadi di depan mata kepala. Tidak heran sebuah daerah tidak bisa memiliki banyak perubahan dan kemajuan disaat partai politik yang seharusnya turut membangun dan menyampaikan aspirasi masyarakat melalui lembaga legislatif (DPR) justru bersikap dan bertindak seperti gurita yang melilit pemerintahan itu sendiri, dan lintah yang menyedot anggaran yang harusnya digunakan untuk masyarakat luas. Masihkah ada pembangunan yang bisa dilaksanakan jika sebagian besar anggaran sudah digunakan untuk menghidupi partai politik yang berkuasa melalui kadernya yang memegang tampuk pemerintahan ?
Dibutuhkan orang kuat untuk menjadi seorang Kepala Daerah, baik itu sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota. Orang kuat yang mampu bertindak sebagai pengendali pemerintahan sekaligus mampu mengendalikan partai yang mengusung. Bukan orang-orang yang hanya bekerja untuk partai pengusung, tapi lupa bekerja untuk daerah yang dipimpin. Dibutuhkan orang yang berani untuk menjadi kepala daerah di Sumatera Barat, keberanian dalam bernegosiasi dan keberanian dalam melobi kepada pemerintah pusat guna mendapatkan anggaran untuk meningkatkan pembangunan dan perekonomian masyarakat. Bukan Gubernur yang penakut sehingga triliunan dana kembali ke pemerintah pusat, dengan alasan gubernur tidak berani mengambil kebijakan.
Dengan kondisi seperti yang sudah dijelaskan di atas, masih bisakah kita berharap banyak dari pemilihan langsung ? Jika kita semua menyimak debat, kampanye ataupun selebaran yang berisikan program yang akan dilaksanakan, berapa banyak program telah dilaksanakan dari kampanye yang lalu ? Atau yang terjadi malah sebaliknya ? Wallahualam...

Tribute to Prof. Dr. Riswandha Imawan. Yes Sir, Eagle flies alone...

Minggu, 29 November 2015

SERBA-SERBI PILGUB SUMBAR (Edisi Kampanye Akbar)



Tadinya saya berpikir kampanye akbar yang dilaksanakan oleh pasangan Calon Gubernur Muslim Kasim-Fauzi Bahar (MK-Fauzi) akan kalah telak dari kampanye akbar yang dilaksanakan oleh pasangan IP-NA. Ditambah lagi dengan melihat postingan-postingan awal yang ditunjukan oleh simpatisan dan timses pasangan IP-NA di sosial media. Terakhir postingan tersebut malah menjadi ajang debat dan ajang klaim dari simpatisan dan timses kedua pasangan calon. Hehehe...
Tapi setelah melihat foto-foto yang dipostkan oleh simpatisan dan timsesnya pasangan calon MK-Fauzi, kalau saya melihat kasat mata ya lumayan berimbang. Kalaupun massa kampanye IP-NA unggul, tidak unggul banyak pun begitu sebaliknya. Namun yang menjadi catatan penting saya kali ini adalah :
1.    Untuk sebuah kampanye yang tidak dihadiri figur nasional sepopuler Prabowo Subianto, kampanye akbar yang dilaksanakan oleh pasangan MK-Fauzi tergolong ramai. Namun jika kita mengambil dari sudut pandang jumlah partai pendukung, maka kampanye akbar tersebut masih kurang ramai. Di sisi lain, kampanye akbar yang dilakukan oleh pasangan IP-NA yang didukung oleh dua partai berjalan cukup ramai, namun diakui atau tidak, bisa kah kita menafikan pengaruh Prabowo dalam keramaian itu ? Saya rasa hampir semua dari kita sepakat, tidak bisa.
2.    Kemudian yang menjadi perhatian bagi saya adalah cara tim MK-Fauzi mempromosikan pasangan calon mereka dalam spanduk-spanduk dan baliho yang terdapat di lokasi kampanye.
Spanduk dan baliho yang terdapat di lokasi kampanye dominan dihiasi dengan pasangan MK-Fauzi sebagai gambar utama. Hal ini sedikit berbeda dengan pasangan calon IP-NA yang lebih mengedepankan gambar dan sosok Prabowo Subianto dalam spanduk dan baliho yang mereka pasang.
Hal di atas menjadi menarik bagi saya karena sepertinya Tim MK-Fauzi lebih percaya diri dan konsisten dalam mempromosikan pasangan calonnya, dibandingkan kontestan pesaing. Malah terkait gambar Prabowo yang dominan di baliho ini menjadi sebuah pertanyaan menggelitik di kalangan masyarakat “mancalon Gubernur Sumbar Prabowo ?”
Dengan kondisi di atas, maka masing-masing pasangan calon masih punya segudang pekerjaan rumah dengan waktu yang tidak banyak guna memenangkan Pilgub Sumbar. Jika menurut pengamat politik Andri Rusta, bahwa kemenangan pasangan calon di Pilgub sumbar ini akan didapat dengan selisih persentase suara kira-kira 70%an melawan 20%an, saya rasa itu terlalu jauh, walau memang bukan tidak mungkin mengingat rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai Pilgub Sumabar kali ini yang akan berujung kepada rendahnya partisipasi masyarakat. Dia atas kertas rendahnya partisipasi masyarakat akan lebih menguntungkan pasangan IP-NA, jadi tim MK-Fauzi punya pekerjaan tambahan selain mempromosikan dan mengkampanyekan pasangan calon mereka, mereka juga harus bisa mempromosikan dan mengkampanyekan tentang Pilgub Sumbar. Ya... hitung-hitung bantu KPU lah... Sekaligus membantu negara ini dalam berdemokrasi dan membantu negara dalam mengurangi pemborosan keuangan negara (kalau partisipasi rendah negara kan rugi, mengingat biaya untuk Pilgub ini tidak bisa dikatakan kecil)
Selanjutnya, jika kita mengurut beberapa faktor yang dapat memenangkan sebuah kontes politik, maka secara garis besar kita bisa menyebut tiga faktor :
1.    Party/Partai Politik
Keberadaan partai politik sebagai penyedia “tiket” guna berlaga dalam kontes politik tidak dapat dihindari dan sudah menjadi keniscayaan. Memang ada peluang maju dari jalur independen, namun untuk berlaga melalui jalur ini, seorang calon harus memiliki figur yang benar-benar populer dan punya karakter yang kuat. Dan tidak semua orang diberikan berkah punya karakter seperti itu.

2.    Volunteers/Relawan
Bukan menepikan peran partai, namun sejarah akhir-akhir ini membuktikan bahwa partai politik tidak lagi menjadi faktor penentu kemenangan dalam kontes politik. Jika partai politik memiliki beberapa lapisan dari tingkatan elit sampai ke akar rumput, tidak demikian dengan relawan. Relawan bergerak dari bawah dan tepat sasaran. Rasanya relawan lebih memilliki persentase yang tinggi dalam menentukan sebuah kemenangan dalam kontes politik, dibandingkan partai politik.

3.    Figure/Figur.
Last but not least, sebenarnya inilah faktor terpenting dalam sebuah kontes politik. Rasanya saya berani bertaruh, Gerindra tidak akan sebesar sekarang ini tanpa adanya figur Prabowo Subianto. Sama halnya AKP Party tidak akan menjadi partai dominan di Turki tanpa adanya figur Erdogan.

Pemilihan Gubernur Sumatera Barat kali ini akan berhasil dimenangkan oleh pasangan calon yang mampu menempatkan 3 faktor di atas sesuai dengan porsinya, baik porsi dalam tugas maupun porsi dalam budget anggaran. Jika masalah figur, figur Fauzi Bahar tidak kalah populer jika dibandingkan dengan figur Irwan Prayitno. Tapi kondisi ini sebenarnya cukup menarik, karena masyarakat tidak banyak berbicara mengenai Muslim Kasim dan Nasrul Abit. Kondisi ini seperti laga el classico antara Real Madrid vs Barcelona, dimana penonton akan lebih banyak membicarakan mengenai persaingan antara Christiano Ronaldo melawan Lionel Messi, padahal masih ada pemain lain yang perannya sebenarnya tidak bisa dianggap enteng.
Kalau dilihat dari sudut pandang partai pendukung, agaknya partai pendukung pasangan MK-Fauzi masih belum maksimal dalam menggerakan massa dan pendukungnya (ini jika dilihat dari konsentrasi massa pada kampanye akbar yang menurut saya belum menggambarkan besarnya dukungan 9 partai politik), tapi who knows ?
Dari sudut pandang relawan, jika melihat kepada kampanye akbar yang baru saja dilaksanakan, acungan jempol layak diberikan kepada Relawan MK-Fauzi, yang walaupun mungkin belum “seterkenal” dan “sesadis” relawan pasangan calon lain, tapi Relawan MK-Fauzi mampu melengkapi kepingan yang hilang sehingga sebuah pergerakan menjadi sempurna. Sudut pandang saya relawan ini masih bisa ditingkatkan kemampuan dan ketrengginasannya dalam bekerja. Jika itu terjadi maka akan tercipta sejarah baru dalam perpolitikan di Sumatera Barat.
Selamat berjuang... selamat berdemokrasi...

Sabtu, 28 November 2015

PANIC BUTTON PILGUB SUMBAR




Belajar dari Pemilihan Presiden (Pilpres) yang terakhir, pengolahan isu menjadi sebuah aspek penting dalam setiap pemilihan yang melibatkan partisipasi masyarakat umum. Masih segar dalam ingatan bagaimana tim Jokowi-JK mampu mengolah sebuah isu yang kemudian menjadi sebuah tagline untuk mengalahkan pesaing mereka dalam pilpres yang lalu, Prabowo-Hatta Rajasa.
Jika Jokowi-JK punya isu Hak Azazi Manusia dalam menyudutkan Prabowo, maka di Pemilihan Gubernur (pilgub) Sumatera Barat kali ini, pasangan IP-NA melalui loyalis dan simpatisannya mengemas sebuah isu mengenai kristenisasi atau lebih mereka sebut dengan salibis terhadap pasangan Muslim Kasim-Fauzi Bahar. Satu sisi saya merasa salut dengan loyalis dan simpatisan IP-NA yang batuah ka nan manang pada pilpres yang lalu, namun di sisi lain saya melihat ini sebagai sebuah langkah panik yang diambil oleh loyalis dan simpatisan calon pasangan yang diusung oleh PKS dan Gerindra ini.
Kenapa dikatakan panik ? Loyalis dan simpatisan dari pasangan IP-NA seolah-olah kehabisan bahan dan membuat sebuah rekayasa berita dari sebuah foto kejadian, hal ini lazimnya dilakukan pasangan calon yang tengah tertinggal dalam elektabilitas dan popularitas, tapi benarkah IP-NA dalam keadaan tertinggal ? Penyebaran isu keagamaan seperti disebutkan di atas, secara etika politik tentu tidak tepat untuk dilakukan, namun di zaman politik seperti hari ini ada di urutan berapa unsur etika ? Kepanikan ini semakin terlihat ketika isu ini dikemas terlalu dini, isu ini bisa menjadi bumerang telak bagi IP-NA jika tim MK-Fauzi mampu membuat sebuah pembantahan berdasarkan fakta dan realita yang kemudian disebarluaskan melalui media sosial secara masif. Jika tindakan itu dilakukan, Tim MK-Fauzi dapat memutarbalikan kondisi yang tadi dalam keadaan diserang menjadi keadaan menyerang. Persis seperti kejadian “Kuda Tuli” yang dialami PDI-P.
Biasanya PKS lebih sering menggunakan isu “penzhaliman” terhadap dirinya, seperti yang kerap diteriakan oleh petinggi PKS saat meledaknya kasus LHI, Ahmad Fathanah dan terakhir Gatot Pujo Nugroho. Namun kali ini PKS nampaknya harus melakukan sesuatu yang lebih dari gaya lama yang kerap mereka mainkan. Kali ini dengan isu salibis dan kristenisasi, Tim MK-Fauzi bisa menjadikan mereka dalam posisi yang biasa ditempati oleh PKS yaitu sebagai pihak yang dizhalimi secara real, tergantung kepada kemampuan Tim MK-Fauzi itu sendiri dalam mengolah isu panas yang digelindingkan kepada mereka.
Saya teringat Prabowo, isu HAMnya tidak pernah sampai ke pengadilan dan juga tidak pernah sampai ke Den Haag untuk diadili dalam kejahatan perang. Tapi isu itu sudah cukup telak untuk mengalahkannya dalam pilpres, dan memang Jokowi tidak butuh pengadilan HAM untuk Prabowo, Jokowi-JK hanya perlu memenangkan Pilpres. Sama halnya dengan IP-NA sekarang, mereka tidak akan peduli berapa banyak orang yang akan murtad dengan isu salibis yang dihembuskan ataupun potensi perpecahan antar umat beragama akibat isu yang dimunculkan. kepentingan mereka hanyalah memenangkan pilgub dan berkuasa untuk kedua kalinya.
Sisi lain yang menarik menurut saya adalah, bahwa Fauzi Bahar adalah sosok yang paling sering dijadikan sasaran tembak dibanding calon Gubernurnya sendiri, Muslim Kasim. Biasanya yang akan menjadi sasaran tembak saingan politik adalah sosok yang menjadi figur utama alias orang nomor 1, bukan wakilnya. Hal ini membuktikan bahwa IP-NA menganggap Fauzi Bahar adalah pihak yang harus diincar, sekaligus membuktikan bahwa Fauzi Bahar mulai menjadi sosok yang begitu dicemaskan oleh IP-NA. Popularitas Fauzi Bahar dengan semua kontroversinya dan komitmennya telah menjadi nilai jual yang tinggi sehingga menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri oleh IP-NA. Sementara terhadap figur Muslim Kasim sendiri, jauh dari sasaran atau target isu.


Belajar dari pilpres yang lalu, maka pengolahan isu akan menjadi sangat krusial, dan memang akan selalu krusial. Isu yang dilemparkan mampu merubah pandangan orang-orang dengan drastis. Banyak yang mengatakan pemilih di Sumatera Barat sudah cerdas, saya bisa menerima dan memaklumi itu sebagai sebuah harapan, dan jika berkaca kepada Pilpres yang lalu, terbukti bahwa masyarakat Sumatera Barat memang tidak mudah termakan isu, buktinya Prabowo menang telak di ranah minang. Soal Pilgub, kita lihat jawaban dari KPU. Wassalam...