Kamis, 19 November 2015

KENAPA MESTI NETRAL JIKA KEBERPIHAKAN ADALAH SUATU KENISCAYAAN





Pembaca yang budiman, kali ini kita akan bicara mengenai hal yang agak berat, setengah berat atau diberat-beratkan deh. Mengenai aturan yang mengatur tentang hak politik bagi ASN.
Sudah sama-sama kita ketahui bahwa ASN tidak boleh menunjukan keberpihakannya, apalagi terlibat praktis pada salah satu calon pasangan kepala daerah yang mencalonkan diri dalam Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada). Padahal sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa keterlibatan ASN dalam Pilkada adalah suatu keniscayaan. Memang tidak berlaku untuk semua ASN, karena pengalaman saya sebagai ASN juga membuktikan, bahwa kebanyakan ASN yang bersikap layaknya follower, walaupun juga tidak sedikit ASN yang memiliki ideologi politik dikarenakan pemahamannya mengenai politik.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengkritisi dan menyampaikan beberapa hal yang menjadi concern pendangan saya, antara lain :
1.     Apa dasar pengambilan keputusan yang menjadikan ASN haram untuk berpolitik ? Sampai sekarang pertanyaan ini belum terjawab oleh saya. Politik adalah sebuah gelanggang yang menentukan hampir semua aspek kehidupan bermasyarakat, tidak hanya pemerintahan, tapi juga sosial, budaya apalagi ekonomi dan banyak hal lainnya. Kenapa ASN yang nyata-nyata dibayar oleh negara tidak boleh memperjuangkan ideologi politiknya ? Apa karena politik hanya untuk politisi ?

2.    Tidak ada yang akan sanggup menjalankan politik tanpa keterlibatan ASN di dalamnya. Ini bukan pameo lho, tapi faktual dan seperti yang saya katakan, sudah menjadi rahasia umum ! Kenapa hal ini terjadi ? Karena belum ada satupun partai politik yang sanggup menandingi struktur dan tata kerja dari ASN itu sendiri. Apakah pengurus partai politik di tingkat kelurahan mampu menandingi fungsi Lurah dalam penyebaran informasi ? Belum... Jadi setiap pasangan calon yang diusung oleh partai politik manapun sudah hampir pasti akan membutuhkan “bantuan” dari aparatur pemerintahan (ASN).


3.    Sifat ASN yang netral dan tidak menggunakan atribut kepartaian tertentu, justru menjadi pisau bermata dua. Kenetralitasan ASN membuat mereka lebih mampu mengumpulkan masyarakat yang lebih banyak dan dalam skop yang lebih luas, dan tidak terbatas pada partisan partai politik tertentu. Sehingga mereka lebih leluasa dalam “mempengaruhi” masyarakat, dan sekali lagi dalam skop yang lebih luas. Apa ada pergerakan yang bisa mengalahkan itu ?
  
4.    Apakah ada ketakutan dari pemerintah pusat jika elit pemerintahan dan pejabat negara justru berasal dari birokrat (ASN) sehingga dapat mengancam keberlangsungan partai politik. Kenapa keberlangsungan partai politik ? Untuk mendirikan dan menggerakan partai politik bukanlah perkara mudah, dan juga tidak berbiaya murah. Hampir sebagian besar pendanaan partai berasal dari kader-kader dan pentolan-pentolannya yang duduk di lembaga pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Makanya kita di Indonesia menjadi kian permisif terhadap kasus-kasus korupsi yang menyeret pejabat-pejabat politik. Namun masalahnya di setiap kasus yang menyeret pejabat-pejabat politik itu, juga menyeret pejabat-pejabat birokratnya. Jika seorang menteri menjadi terperiksa atau tersangka, hampir dapat dipastikan juga bahwa salah satu dirjen di kementerian yang dia pimpin juga akan ikut terperiksa. Dengan kondisi seperti itu, ASN dan birokrat yang ada hanya menjadi korban rekoset.

5.    ASN sebagai warga negara Indonesia sudah pasti memiliki hak konstitusional, yang antara lain dari hak konstitusional itu adalah hak untuk berserikat dan hak untuk menyatakan pendapat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28. Apakah menyatakan pendapat politik tidak termasuk di dalamnya ?

6.    Jika negara menggaji ASN di republik ini hanya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan klerikal, tanpa memberikan mereka peluang untuk menyatakan gagasan dan pendapat mereka secara politik (sementara kita tahu, hampir semua keputusan besar di sebuah negara adalah keputusan yang bersifat politik atau diambil melalui sebuah proses politik) maka memang benar seperti yang dikatakan oleh salah satu pasangan calon Presiden kita yang lalu, anggaran negara kita “bocor” ! Anggaran negara kita terpakai terlalu banyak untuk orang-orang yang mengatakan yes bos !, membuat surat, menomorkan surat, mengantarkan surat, mengetik dan memfotocopy berkas. Sementara kita tahu yang bernilai mahal secara materi di dunia ini adalah ide. Makanya penemu sesuatu hal dan mematenkan penemuannya selalu mendapatkan royalti setiap kali ide mereka digunakan oleh orang lain. Kenapa ASN yang digaji oleh negara ini tidak bisa bebas mengeluarkan ide-ide politiknya ? Toh negara juga sudah bayar duluan kok, bayar di depan malah (buktinya tanggal 1 setiap bulan, gaji sudah masuk rekening, bukan tanggal 30 atau 31).

7.    Hampir semua kepala daerah yang memenangkan Pilkada memiliki prioritas terhadap ASN yang “membantunya” dalam Pilkada (hal ini sudah berlaku umum, jadi tidak perlu ternganga seolah-olah hal ini adalah hal baru). Objektifitas penilaian kinerja hanya macan kertas, dan hal semacam ini sudah kian lumrah. Alhasil, tidak banyak pemerintah daerah baik Kota, Kabupaten dan Propinsi yang mampu menunjukan kinerja baik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Siapa yang dirugikan dalam hal ini ? yang pasti penerima dampak kerugian terbesar bukanlah ASN ataupun pemerintah, tapi masyarakat luas. Ketidakmampuan ASN dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya menjadikan serapan anggaran rendah, dan uang yang seharusnya beredar di masyarakat dan dapat meningkatkan putaran perekonomian masyarakat malah tertahan dan tersimpan dengan “aman” dalam kas daerah yang kemudian menjadi sisa lebih pagu anggaran dan dikembalikan kepada kas daerah atau kas pemerintah pusat. Masyarakat tidak pernah demo karena ini, kenapa ? karena mereka memang tidak tahu, dan juga tidak dibiarkan tahu bahwa sebenarnya ada anggaran yang bisa meningkatkan taraf hidup mereka baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat direalisasikan karena tidak kompetennya aparat yang mengelola dana tersebut. Kalaulah mereka tahu, apakah tidak akan main bakar-bakaran itu di kantor pemerintahan ?

8.    Kita harus berhenti bersikap seolah-olah kita mematuhi peraturan yang ada kemudian menghimbau orang banyak untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita lakukan. Namun mulailah berpikir optimis untuk memberikan sumbangsih berupa saran atau pendapat yang mungkin bisa memberikan pandangan lain kepada pemerintah pusat di Jakarta sana. Kita semua berhutang banyak pada negeri ini, tidak ada salahnya mencoba membalas budi walaupun tidak akan pernah lunas. Wassalam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar