Pembaca
yang budiman, kali ini kita akan bicara mengenai hal yang agak berat, setengah
berat atau diberat-beratkan deh. Mengenai
aturan yang mengatur tentang hak politik bagi ASN.
Sudah
sama-sama kita ketahui bahwa ASN tidak boleh menunjukan keberpihakannya,
apalagi terlibat praktis pada salah satu calon pasangan kepala daerah yang
mencalonkan diri dalam Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada). Padahal sudah
menjadi semacam rahasia umum bahwa keterlibatan ASN dalam Pilkada adalah suatu
keniscayaan. Memang tidak berlaku untuk semua ASN, karena pengalaman saya
sebagai ASN juga membuktikan, bahwa kebanyakan ASN yang bersikap layaknya follower, walaupun juga tidak sedikit
ASN yang memiliki ideologi politik dikarenakan pemahamannya mengenai politik.
Melalui
tulisan ini, saya ingin mengkritisi dan menyampaikan beberapa hal yang menjadi concern pendangan saya, antara lain :
1. Apa dasar pengambilan keputusan yang
menjadikan ASN haram untuk berpolitik ? Sampai sekarang pertanyaan ini belum
terjawab oleh saya. Politik adalah sebuah gelanggang yang menentukan hampir
semua aspek kehidupan bermasyarakat, tidak hanya pemerintahan, tapi juga
sosial, budaya apalagi ekonomi dan banyak hal lainnya. Kenapa ASN yang
nyata-nyata dibayar oleh negara tidak boleh memperjuangkan ideologi politiknya
? Apa karena politik hanya untuk politisi ?
2. Tidak
ada yang akan sanggup menjalankan politik tanpa keterlibatan ASN di dalamnya. Ini
bukan pameo lho, tapi faktual dan seperti yang saya katakan, sudah menjadi
rahasia umum ! Kenapa hal ini terjadi ? Karena belum ada satupun partai politik
yang sanggup menandingi struktur dan tata kerja dari ASN itu sendiri. Apakah pengurus
partai politik di tingkat kelurahan mampu menandingi fungsi Lurah dalam
penyebaran informasi ? Belum... Jadi setiap pasangan calon yang diusung oleh
partai politik manapun sudah hampir pasti akan membutuhkan “bantuan” dari
aparatur pemerintahan (ASN).
3. Sifat
ASN yang netral dan tidak menggunakan atribut kepartaian tertentu, justru
menjadi pisau bermata dua. Kenetralitasan ASN membuat mereka lebih mampu
mengumpulkan masyarakat yang lebih banyak dan dalam skop yang lebih luas, dan
tidak terbatas pada partisan partai politik tertentu. Sehingga mereka lebih
leluasa dalam “mempengaruhi” masyarakat, dan sekali lagi dalam skop yang lebih
luas. Apa ada pergerakan yang bisa mengalahkan itu ?
4. Apakah
ada ketakutan dari pemerintah pusat jika elit pemerintahan dan pejabat negara
justru berasal dari birokrat (ASN) sehingga dapat mengancam keberlangsungan
partai politik. Kenapa keberlangsungan partai politik ? Untuk mendirikan dan
menggerakan partai politik bukanlah perkara mudah, dan juga tidak berbiaya
murah. Hampir sebagian besar pendanaan partai berasal dari kader-kader dan
pentolan-pentolannya yang duduk di lembaga pemerintahan, baik eksekutif maupun
legislatif. Makanya kita di Indonesia menjadi kian permisif terhadap
kasus-kasus korupsi yang menyeret pejabat-pejabat politik. Namun masalahnya di
setiap kasus yang menyeret pejabat-pejabat politik itu, juga menyeret
pejabat-pejabat birokratnya. Jika seorang menteri menjadi terperiksa atau
tersangka, hampir dapat dipastikan juga bahwa salah satu dirjen di kementerian
yang dia pimpin juga akan ikut terperiksa. Dengan kondisi seperti itu, ASN dan
birokrat yang ada hanya menjadi korban rekoset.
5. ASN
sebagai warga negara Indonesia sudah pasti memiliki hak konstitusional, yang
antara lain dari hak konstitusional itu adalah hak untuk berserikat dan hak
untuk menyatakan pendapat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28. Apakah
menyatakan pendapat politik tidak termasuk di dalamnya ?
6. Jika
negara menggaji ASN di republik ini hanya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
klerikal, tanpa memberikan mereka peluang untuk menyatakan gagasan dan pendapat
mereka secara politik (sementara kita tahu, hampir semua keputusan besar di
sebuah negara adalah keputusan yang bersifat politik atau diambil melalui
sebuah proses politik) maka memang benar seperti yang dikatakan oleh salah satu
pasangan calon Presiden kita yang lalu, anggaran negara kita “bocor” ! Anggaran
negara kita terpakai terlalu banyak untuk orang-orang yang mengatakan yes bos !, membuat surat, menomorkan
surat, mengantarkan surat, mengetik dan memfotocopy berkas. Sementara kita tahu
yang bernilai mahal secara materi di dunia ini adalah ide. Makanya penemu
sesuatu hal dan mematenkan penemuannya selalu mendapatkan royalti setiap kali
ide mereka digunakan oleh orang lain. Kenapa ASN yang digaji oleh negara ini
tidak bisa bebas mengeluarkan ide-ide politiknya ? Toh negara juga sudah bayar
duluan kok, bayar di depan malah (buktinya tanggal 1 setiap bulan, gaji sudah
masuk rekening, bukan tanggal 30 atau 31).
7. Hampir
semua kepala daerah yang memenangkan Pilkada memiliki prioritas terhadap ASN
yang “membantunya” dalam Pilkada (hal ini sudah berlaku umum, jadi tidak perlu
ternganga seolah-olah hal ini adalah hal baru). Objektifitas penilaian kinerja
hanya macan kertas, dan hal semacam ini sudah kian lumrah. Alhasil, tidak
banyak pemerintah daerah baik Kota, Kabupaten dan Propinsi yang mampu
menunjukan kinerja baik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Siapa yang
dirugikan dalam hal ini ? yang pasti penerima dampak kerugian terbesar bukanlah
ASN ataupun pemerintah, tapi masyarakat luas. Ketidakmampuan ASN dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya menjadikan serapan anggaran rendah, dan
uang yang seharusnya beredar di masyarakat dan dapat meningkatkan putaran
perekonomian masyarakat malah tertahan dan tersimpan dengan “aman” dalam kas
daerah yang kemudian menjadi sisa lebih pagu anggaran dan dikembalikan kepada
kas daerah atau kas pemerintah pusat. Masyarakat tidak pernah demo karena ini,
kenapa ? karena mereka memang tidak tahu, dan juga tidak dibiarkan tahu bahwa
sebenarnya ada anggaran yang bisa meningkatkan taraf hidup mereka baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat direalisasikan karena tidak kompetennya
aparat yang mengelola dana tersebut. Kalaulah mereka tahu, apakah tidak akan main
bakar-bakaran itu di kantor pemerintahan ?
8. Kita
harus berhenti bersikap seolah-olah kita mematuhi peraturan yang ada kemudian
menghimbau orang banyak untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita
lakukan. Namun mulailah berpikir optimis untuk memberikan sumbangsih berupa
saran atau pendapat yang mungkin bisa memberikan pandangan lain kepada
pemerintah pusat di Jakarta sana. Kita semua berhutang banyak pada negeri ini,
tidak ada salahnya mencoba membalas budi walaupun tidak akan pernah lunas.
Wassalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar