Tampilkan postingan dengan label Pilgub Sumbar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pilgub Sumbar. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Desember 2015

SEJARAH TIDAK MILIK MEREKA YANG NAIF



Untuk kedua kalinya Fauzi Bahar hampir dipastikan gagal untuk menjadi bagian dari sejarah Rumah Bagonjong Kantor Gubernur Sumatera Barat. Upaya dan usaha yang dilakukan untuk menjadi seorang Gubernur atau Wakil Gubernur tentu bukanlah upaya ringan. Butuh pengorbanan yang sangat besar baik secara moril ataupun materil. Namun nampaknya takdir memang tidak berpihak kepada Fauzi Bahar yang berasal dari Koto Tangah Kota Padang.
Jika saya bisa memberikan suatu analisa yang menjadi sebab dari kegagalan tersebut, antara lain :
1.    Fauzi tidak memiliki lawan tanding berpikir yang mumpuni. Banyak dari keputusan yang dibuat oleh timses terlihat tidak tepat sasaran. Pada kondisi seperti itu hendaknya Fauzi memiliki seorang “pembantah” yang mampu berdebat dengan baik perihal keputusan yang diambil. Bukan hanya sekedar staff yang begitu pintar tapi malah bersifat yes man. Ingat, kehilangan lawan berpikir adalah awal dari kebutaan realita kehidupan.

2.    Koalisi partai yang sangat gemuk menjadi sulit untuk digerakan dan rawan pecah kongsi sebelum perperangan yang sebenarnya. Partai politik saat ini tidak digerakan oleh cita-cita bersama. Tapi hanya digerakan oleh kesamaan angka-angka. Kita tidak perlu terlalu naif untuk hal ini. Sudah menjadi rahasia umum bukan ?

3.    Timses telah mengabaikan peran media sosial. Seharusnya tim ini bisa belajar banyak dari kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres yang lalu, dimana pencitraan yang dilakukan oleh tim media sosial mereka sangat massive dan terstruktur. Kita tidak bisa berharap banyak kepada media untuk memberikan fakta, karena hampir semua media massa baik cetak, elektronik apalagi sosial juga memiliki agenda tersembunyi atau terang-terangan.

4.    Dari awal saya sudah memperkirakan bahwa pasangan MK-Fauzi hanya mampu memenangkan Pilgub jika persentase partisipasi masyarakat yang memilih mencapai minimal 70%. Hal ini juga berkaitan dengan KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Gubernur (Pilgub). Keterbatasan dana, sempitnya waktu, keterbatasan personil, minimnya sosialisasi, sekarang hanya menjadi bumbu dari pembelajaran kita berdemokrasi.

5.    Kesadaran politik masyarakat yang masih sangat rendah. Kita tidak seperti Maluku dan Sulawesi Selatan yang lebih dinamis. Kita Sumatera Barat hanya diisi oleh pedagang dan PNS. Dan rasanya hampir dapat dipastikan dari dua kalangan itu, maka yang terpacu untuk menggunakan hak suaranya adalah PNS. Dan tidak sulit untuk mendapatkan suara mayoritas dari PNS, cukup gunakan APBD untuk menaikan tunjangan daerah, maka anda telah berkampanye dengan menggunakan dana APBD (secara tidak langsung) dan memang di situlah keunggulan incumbent mana saja. Kekuatan birokrasi masih sangat dominan untuk Sumatera Barat, sehingga butuh upaya yang luar biasa besar untuk menumbangkan hal itu.  

6.    Last but not least, memang takdir belum memihak. Dan bagi Fauzi Bahar sendiri mungkin ini waktu yang tepat untuk pensiun dari dunia perpolitikan. Selama Fauzi masih menerima pandangan orang-orangnya yang begitu naif dan tidak memiliki aura “membunuh”, maka selama itu pun Fauzi tidak akan memenangkan kontes politik apapun. Politik itu permainan kejam, bukan seperti permainan barbie atau bongkar pasang.

Selamat kepada Sumatera Barat yang telah melaksanakan proses demokrasinya. Segala kekurangan adalah pembelajaran, tapi yakinlah, untuk demokrasi ini kita tidak akan pernah berhenti belajar. Malah banyak diantaranya kita selalu mempelajari hal yang sama dari tahun ke tahun. Selamat bagi pemenang. Bagi yang kalah, silahkan buka mata anda lebar-lebar, apakah anda melihat Ka’bah di hadapan anda ? Tidak. Karena memang kita tidak di tanah Arab Bung ! Wassalam...

Selasa, 08 Desember 2015

SELAMAT MEMILIH SUMATERA BARAT !!!



Pertama, selamat memilih Sumatera Barat ! Semoga masyarakat Sumatera Barat memang memilih. Di luar banyaknya permasalahan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur (Pilgub) kali ini, maka ini adalah pembelajaran kita dalam berdemokrasi. Tidak sampainya surat undangan memilih/kartu pemillih, minimnya sosialisasi, masih banyaknya praktek fitnah dan penipuan massal dalam Pilgub, penggunaan fasilitas pemerintahan dalam kampanye terselubung. Ya, itulah “pelajaran” kita dalam berdemokrasi. Tapi dari “pembelajaran” kita berdemokrasi seperti yang disampaikan di atas, yang kita dapatkan adalah semakin sulitnya mengalahkan incumbent.
Secara historis, Sumatera Barat adalah sebuah propinsi yang relatif aman dan adem ayem. Relatif aman dari tindakan ekstrim, juga relatif aman dari lambatnya pembangunan. Sumatera Barat persis seperti Yogyakarta yang sangat kuat tradisi keratonnya, sangat tenang. Oleh karena itu mengalahkan incumbent di Sumatera Barat bukanlah pekerjaan mudah. Masyarakat Sumatera Barat umumnya adalah masyarakat yang pemaaf, terutama bagi orang-orang yang pandai bersandiwara.
Irwan Prayitno-Nasrul Abit (IP-NA) berhadapan dengan Muslim Kasim-Fauzi Bahar (MK-Fauzi). Masing-masing pasangan calon punya keunggulan masing-masing. IP-NA didukung oleh mayoritas birokrasi dan media, MK-Fauzi didukung oleh sejarah. Baik Muslim Kasim maupun Fauzi Bahar adalah dua kepala daerah yang berhasil memindahkan pusat pemerintahan di kabupaten dan kota yang mereka pimpin. Pemenangnya akan menjadi Gubernur Sumatera Barat untuk lima tahun ke depan.
Bagi saya pribadi, pemerintahan IP yang menjalankan peran sebagai pemain tunggal di rumah bagonjong, cenderung stagnan dan lebih disibukan oleh urusan-urusan yang bukan menjadi urusan wajib pemerintahan. Trabas, menjadi drumer, bukanlah hal yang urgent untuk dilakukan oleh seorang Gubernur menurut saya, namun penting bagi seorang Gubernur untuk menyediakan arena trabas, dan mencetak drummer-drummer handal jika memang dua hal itu menjadi kegemarannya.
Pencitraan yang terlalu berlebihan baik melalui baliho, ataupun melalui media juga over rated menurut saya. Sehingga banyak pekerjaan rumah pemerintah propinsi Sumatera Barat yang seharusnya menjadi prioritas tertutupi oleh hal yang dibuat-buat.
Sumatera Barat memenangkan banyak penghargaan, itu hal yang positif, tapi penghargaan yang berujung kepada aksi nyata bagi masyarakat Sumatera Barat sesungguhnya layak ikut ditanyakan. Pemerintahan yang didasarkan kepada tipu daya adalah pemerintahan paling buruk yang pernah ada. Dan seharusnya tidak pernah ada. Namun inilah buah simalakama dari sebuah pemilihan langsung. Masih layakah pemilihan semamcam ini dilaksanakan ? Demi demokrasi ? Demi Demokrasi biarlah sebuah propinsi dan negara yang memiliki banyak potensi menjadi bodoh ? Menjadi tersia-siakan ?
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, dan selama itulah kita akan semakin jauh tertinggal. Gaya partai politik pemenang Pilkada yang seperti rampok dan mengkapling APBD jauh di luar batas kewajaran telah menjadikan pembangunan yang dicita-citakan hanya sebatas cita-cita. Akademisi yang menggadaikan idealisme berpikir dan keilmuannya hanya demi sebuah negosiasi lembaga survey ? Media yang tidak jelas lagi mana fakta, fitnah dan penipuan ? Kepada siapa lagi propinsi dan negeri ini akan dititipkan ? Siapa lagi yang akan mengingatkan propinsi dan negeri ini akan kondisi kita yang sebenarnya ?
Mungkinkah Sumatera Barat berganti kepemimpinan ? Mungkin saja. Tapi yang jelas tidak mudah. Seperti yang sudah disampaikan pada paragraf awal, “pembelajaran” kita dalam berdemokrasi ini besar peluangnya memaksa kita untuk kembali tunduk pada pemerintahan yang sama, dan bukan tidak mungkin pada kegagalan yang sama.
Semoga Tuhan bersama masyarakat Sumatera Barat dalam pemilihan ini. Semoga Allah SWT menitipkan Sumatera Barat kepada pemimpin yang memiliki niat untuk menjadi pemimpin masyarakat luas. Pemimpin yang berniat mencerdaskan masyarakat, bukan pemimpin yang menggunakan ilmu-ilmu tingkat tingginya untuk menjaga masyarakat agar tetap bodoh, dan mencitrakan dirinya bagaikan malaikat bersayap. Semoga Allah SWT membukakan semua kebenarannya, walau ribuan portal menyuarakan hal yang berbeda. Semoga yang terbaik untuk masyarakat Sumatera Barat ke depan. Semoga.
Sekali lagi, selamat memilih Sumatera Barat !

Jumat, 04 Desember 2015

ANTARA FAUZI, SADDAM DAN QADAFFI





Saya hampir saja menutup laptop saya sebelum saya melihat sebuah postingan di salah satu media sosial yang lebih kurang isinya menyatakan Fauzi Bahar sebagai satu-satunya Walikota di dunia yang didemo pada hari terakhir jabatannya. Membaca itu saya langsung terinspirasi untuk menggerakan jari-jari tangan saya untuk kembali menulis. Saya menemukan kembali sensasi menulis sembari tersenyum, tulisan ini mengalir begitu saja dengan senyum simpul di wajah saya yang tidak terlalu ganteng.
Sebelumnya, apa kabar Pak Fauzi ? Sudah cukup lama rasanya tidak bertemu dan rasanya Bapak sudah hampir pasti sangat sibuk saat ini. Bapak akan menghadapi perjuangan politik sekali lagi, mungkin ini adalah perjuangan politik terakhir untuk Bapak.
Oke, kita lanjut kepada materi tulisan kali ini, membaca kalimat Fauzi Bahar sebagai satu-satunya Walikota yang didemo pada masa akhir jabatannya membuat saya otomatis langsung terkenang akan sosok-sosok orang kuat dunia. Beberapa di antaranya adalah Saddam Hussein di Irak dan Moammar Qadaffi di Libia. Dua orang kuat ini mengakhiri jabatannya mirip dengan Fauzi Bahar mengakiri jabatannya sebagai Walikota. Malah dua orang yang kita sebutkan namanya di awal ini mengakhiri jabatannya lebih tragis, tidak saja hanya didemo, mereka malah digantung dan dibunuh oleh pasukan koalisi.
Kenapa dua kejadian yang menimpa pemimpin negara kaya minyak itu membuat saya terkenang akan kisah Fauzi ? Karena untuk skop yang lebih kecil, Fauzi punya beberapa karakter dari dua orang kuat itu, Saddam dan Qadaffi. Sama dengan dua orang itu Fauzi Bahar adalah orang kuat, berpendirian tegas, dan punya prinsip. Jika Saddam dan Qadaffi mempertahankan pendiriannya dengan kehilangan nyawanya, Fauzi mendapatkan hadiah demo sebagai kompensasi mempertahankan prinsip dan harga dirinya. Fauzi, Saddam dan Qadaffi bukanlah orang yang bisa diputar sana-sini. Juga bukan orang yang akan memble dan plin-plan dalam memutuskan suatu persoalan. Mereka adalah tipe orang yang mengambil keputusan dan bertanggung jawab hingga akhir.
Saya berandai-andai, andai saja Saddam dan Qadaffi bisa sedikit membuang pinsip dan harga dirinya, mungkin dua pemimpin besar itu masih hidup sampai sekarang dan tetap kaya raya. Sama halnya jika saja dulu Soekarno mau berdamai dengan Amerika Serikat, maka beliau akan menjadi orang yang kaya raya hanya dengan menerima bagi hasil Freeport yang diberikan oleh Amerika. Tapi mereka tidak melakukan itu. Begitupun dengan Fauzi. Tidak ada satupun kelompok yang dapat menekan mereka untuk memalingkan prinsip hidup mereka. Sebagai politisi hal ini jarang ditemui saat ini, karena bagi politisi yang penting hidup panjang, berkuasa selama mungkin, soal jilat menjilat ludah sendiri, itu hal yang bisa diabaikan dengan pura-pura lupa, atau pura-pura tidak tahu.
Selepas Saddam tidak lagi berkuasa di Irak, untuk beberapa waktu masyarakat Irak mengalami euforia yang sangat dahsyat, kedatangan tentara Amerika disambut dengan sorak sorai bergembira, sama halnya dengan Libia sepeninggal Qadaffi. Masyarakat merayakan keberhasilan mereka mendemo, menjatuhkan dan membunuh pemimpin mereka. Tapi... coba tanyakan kepada mereka situasi mereka saat ini. salah seorang reporter Amerika yang bertugas di Irak pasca jatuhnya Saddam bertanya kepada salah seorang warga Irak bagaimana perasaannya melihat Irak saat ini, jawaban yang didengar oleh reporter ini sungguh sangat mencengangkan, “Jikalah Saddam Hussein masih hidup, maka aku akan berlari untuk menyalami dan mencium tangannya !” Ternyata ada sebuah penyesalan dari warga yang tadinya merasa begitu gembira telah berhasil mendemo, menangkap dan membunuh seorang Saddam. Irak selepas Saddam ? Negara rusuh dan chaos.
Muammar Qadaffi mati ditembak oleh tentara pemberontak yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat melalui Aliansi NATOnya. Sama seperti Irak, untuk sejenak sorak-sorai bergembira terdengar seantero Libia. Bagaimana Libia kini ? Miskin, konflik dan lemah. Mereka lupa bahwa Qadaffi lah yang selama ini menggratiskan biaya listrik mereka, Qadaffi lah yang membangun megaproyek penyediaan air bersih untuk seluruh masyarakat Libia, dan Qadaffi lah yang membuat memberikan mereka bagi hasil dari penjualan minyak Libia. Qadaffi lah yang menetapkan kebijakan subsidi 50% bagi setiap pengantin baru yang akan membeli rumah.
Jadi Pak Fauzi, tidak usah terlalu berkecil hati mengenai demo itu. Orang besar mendapat cobaan besar karena melakukan hal-hal yang besar. Orang yang tidak melakukan apa-apa tentu juga tidak akan menemui dan menghadapi peristiwa-peristiwa yang besar juga. Orang besar terkadang menjadi jauh lebih besar ketika dia sudah tidak lagi berkuasa.
Tentang demo itu, anda dan saya tahu dimana mereka dikumpulkan dan dijamu. Anda dan saya juga tahu bendera apa yang mereka bawa, stiker apa yang ada di kendaraan mereka dan siapa yang memprovokasi mereka.
Bukan tidak mungkin ketika Bapak bukan siapa-siapa lagi, Bapak malah menjadi kenangan baik bagi banyak orang. Entah itu mantan anak buah Bapak, Ibu-ibu yang Bapak temui dalam Majelis Taklim, atau para orang tua yang mendapatkan anaknya saat ini telah fasih membaca Asmaul Husna dan Juz Amma.
Selamat berjuang Pak, saya doakan yang terbaik. Salam hormat saya untuk Bapak dan Keluarga. Kepada Iyaz yang menemani saya di Jakarta, kepada Ibu yang selalu menyajikan masakannya tidak peduli pagi, siang atau malam untuk saya, Egi yang membuat saya harus mengeluarkan kemampuan lobi terbaik untuk memindahkan acaranya, dan tentu saja si kecil Tiara yang kerap menyelamatkan saya ketiga bertugas sebagai Ajudan. Wasssalam...

POLITIK UNTUK AGAMA ? atau AGAMA UNTUK POLITIK ?



Isu agama tidak pernah habis untuk dibahas, terutama dalam Pemilihan Gubernur Sumatara Barat yang hanya tinggal menghitung hari. Akhir-akhir ini begitu banyak isu agama yang dikemas sedemikian rupa oleh pasangan calon yang akan berlaga pada tanggal 9 Desember ini. Tidak jarang isu agama dikemas dan diputarbalikan sedemikian rupa untuk menguntungkan salah satu pasangan calon. Maka terkait hal itu, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah politik untuk agama ? Atau sebaliknya agama untuk politik ?”.
Sebagai politisi yang menguasai pemerintahan anda bisa menggunakan politik sebagai alat memperkuat agama, atau malah sebaliknya anda menjadikan agama sebagai alat memperkuat posisi politik anda (bagi penganut Machiavellis hal semacam ini halal, tapi setahu saya hal semacam ini tidak berlaku pada masa kepemimpinan khilafah).
Bagi setiap tim sukses pasangan calon mana saja, isu agama adalah sebuah hal yang seksi untuk dibahas, hampir tidak ada habisnya. Kita terkadang buta atau memang sengaja dibutakan oleh informasi-informasi yang diputar balik. Ada yang mengatakan kita harus melihat kemampuan seorang dalam ilmu agamanya untuk dijadikan pemimpin, mayoritas dari kita semua mendengar kalimat itu, tapi sesungguhnya dalam pandangan saya ada yang hilang dari kalimat di atas, kita kerap lupa apa yang telah dilakukan seseorang terkait agama yang kerap dijadikan pendulang popularitasnya dalam sebuah pemilihan dan pesta demokrasi. Dan seperti biasa pikiran kita dibolak balik seperti judul tulisan di atas.
Apakah Abraham Lincoln seorang budak ? Tidak. Tapi dia merumuskan sebuah peraturan yang menghapuskan perbudakan. Apakah Jhon F Kennedy seorang minoritas di Amerika Serikat ? Tidak. Tapi dia merumuskan peraturan persamaan hak di  Amerika Serikat. Kesimpulannya adalah, kita tidak bisa menilai seseorang dari apa yang dia katakan saja. Kita kerap terlena dalam sebuah pemberitaan yang tidak jelas lagi dasar dan tolak ukurnya, dan terkadang memang sengaja dikondisikan demikian oleh setiap media. Apakah itu media massa, elektronik ataupun sosial media.
Saya kenal seseorang yang tidak hafal Al-Quran namun berhasil merumuskan sebuah peraturan yang mengikat tentang kewajiban membayar zakat, penggunaan pakaian muslim bagi anak sekolah dan kegiatan-kegiatan yang meramaikan mesjid. Bagi saya orang ini adalah orang yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk agama. Dalam hal ini persis seperti Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei. Di satu sisi saya juga membaca sejarah Mugabe di Afrika sana yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk memiskinkan rakyatnya sendiri, atau Kemal Attaturk di Turki yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk menghapuskan peraturan-peraturan yang islami. Saya tidak mengatakan orang yang menggunakan agama untuk kekuasaan politiknya, tapi bukan berarti itu tidak ada. Jelas ada ! Hanya saja mungkin waktulah yang akan membuktikan cepat atau lambat.
Kita semua telah melihat politisi-politisi yang berbicara, berpidato dan berorasi dengan pengetahuan agama yang mendalam dengan semua referensinya, tapi kita lupa, sudahkah mereka melakukan apa yang mereka sampaikan di mimbar ? Sudahkah mereka melaksanakan pengetahuan agama yang mereka miliki untuk masyarakat banyak ? Atau banyak dari mereka yang mengambil beberapa ayat yang menguntungkan bagi mereka saja, lalu berpura-pura lupa tentang ayat-ayat lain yang melarang mereka menghalalkan segala cara, yang melarang mereka memfitnah dan melarang mereka mendendam.
Bagi ulama dan politisi yang baik, agama adalah tujuan dan kekuasaan politik hanyalah alat. Tapi bagi sebagian lainnya, kekuasaan politik adalah tujuan sedangkan agama hanyalah sebuah alat, komoditi. Kita semua bertanggung jawab atas sebuah kondisi yang terbalik ini, oleh karena itu, semoga tulisan ini mampu memberikan khazanah atau pandangan lain bagi pembaca yang budiman. Kita harus tegas menolak pemutarbalikan logika berpikir. Kita tidak sebodoh itu.
Contoh sederhana lainnya, saya bisa mengatakan cinta kepada semua wanita yang saya kenal, tapi jelas tindakan saya lah yang kelak akan membuktikan apakah benar saya mencintainya atau tidak. Karena sejatinya kata-kata tidaklah pernah cukup. Wassalam...