Jumat, 04 Desember 2015

POLITIK UNTUK AGAMA ? atau AGAMA UNTUK POLITIK ?



Isu agama tidak pernah habis untuk dibahas, terutama dalam Pemilihan Gubernur Sumatara Barat yang hanya tinggal menghitung hari. Akhir-akhir ini begitu banyak isu agama yang dikemas sedemikian rupa oleh pasangan calon yang akan berlaga pada tanggal 9 Desember ini. Tidak jarang isu agama dikemas dan diputarbalikan sedemikian rupa untuk menguntungkan salah satu pasangan calon. Maka terkait hal itu, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah politik untuk agama ? Atau sebaliknya agama untuk politik ?”.
Sebagai politisi yang menguasai pemerintahan anda bisa menggunakan politik sebagai alat memperkuat agama, atau malah sebaliknya anda menjadikan agama sebagai alat memperkuat posisi politik anda (bagi penganut Machiavellis hal semacam ini halal, tapi setahu saya hal semacam ini tidak berlaku pada masa kepemimpinan khilafah).
Bagi setiap tim sukses pasangan calon mana saja, isu agama adalah sebuah hal yang seksi untuk dibahas, hampir tidak ada habisnya. Kita terkadang buta atau memang sengaja dibutakan oleh informasi-informasi yang diputar balik. Ada yang mengatakan kita harus melihat kemampuan seorang dalam ilmu agamanya untuk dijadikan pemimpin, mayoritas dari kita semua mendengar kalimat itu, tapi sesungguhnya dalam pandangan saya ada yang hilang dari kalimat di atas, kita kerap lupa apa yang telah dilakukan seseorang terkait agama yang kerap dijadikan pendulang popularitasnya dalam sebuah pemilihan dan pesta demokrasi. Dan seperti biasa pikiran kita dibolak balik seperti judul tulisan di atas.
Apakah Abraham Lincoln seorang budak ? Tidak. Tapi dia merumuskan sebuah peraturan yang menghapuskan perbudakan. Apakah Jhon F Kennedy seorang minoritas di Amerika Serikat ? Tidak. Tapi dia merumuskan peraturan persamaan hak di  Amerika Serikat. Kesimpulannya adalah, kita tidak bisa menilai seseorang dari apa yang dia katakan saja. Kita kerap terlena dalam sebuah pemberitaan yang tidak jelas lagi dasar dan tolak ukurnya, dan terkadang memang sengaja dikondisikan demikian oleh setiap media. Apakah itu media massa, elektronik ataupun sosial media.
Saya kenal seseorang yang tidak hafal Al-Quran namun berhasil merumuskan sebuah peraturan yang mengikat tentang kewajiban membayar zakat, penggunaan pakaian muslim bagi anak sekolah dan kegiatan-kegiatan yang meramaikan mesjid. Bagi saya orang ini adalah orang yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk agama. Dalam hal ini persis seperti Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei. Di satu sisi saya juga membaca sejarah Mugabe di Afrika sana yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk memiskinkan rakyatnya sendiri, atau Kemal Attaturk di Turki yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk menghapuskan peraturan-peraturan yang islami. Saya tidak mengatakan orang yang menggunakan agama untuk kekuasaan politiknya, tapi bukan berarti itu tidak ada. Jelas ada ! Hanya saja mungkin waktulah yang akan membuktikan cepat atau lambat.
Kita semua telah melihat politisi-politisi yang berbicara, berpidato dan berorasi dengan pengetahuan agama yang mendalam dengan semua referensinya, tapi kita lupa, sudahkah mereka melakukan apa yang mereka sampaikan di mimbar ? Sudahkah mereka melaksanakan pengetahuan agama yang mereka miliki untuk masyarakat banyak ? Atau banyak dari mereka yang mengambil beberapa ayat yang menguntungkan bagi mereka saja, lalu berpura-pura lupa tentang ayat-ayat lain yang melarang mereka menghalalkan segala cara, yang melarang mereka memfitnah dan melarang mereka mendendam.
Bagi ulama dan politisi yang baik, agama adalah tujuan dan kekuasaan politik hanyalah alat. Tapi bagi sebagian lainnya, kekuasaan politik adalah tujuan sedangkan agama hanyalah sebuah alat, komoditi. Kita semua bertanggung jawab atas sebuah kondisi yang terbalik ini, oleh karena itu, semoga tulisan ini mampu memberikan khazanah atau pandangan lain bagi pembaca yang budiman. Kita harus tegas menolak pemutarbalikan logika berpikir. Kita tidak sebodoh itu.
Contoh sederhana lainnya, saya bisa mengatakan cinta kepada semua wanita yang saya kenal, tapi jelas tindakan saya lah yang kelak akan membuktikan apakah benar saya mencintainya atau tidak. Karena sejatinya kata-kata tidaklah pernah cukup. Wassalam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar