Isu
agama tidak pernah habis untuk dibahas, terutama dalam Pemilihan Gubernur
Sumatara Barat yang hanya tinggal menghitung hari. Akhir-akhir ini begitu
banyak isu agama yang dikemas sedemikian rupa oleh pasangan calon yang akan
berlaga pada tanggal 9 Desember ini. Tidak jarang isu agama dikemas dan
diputarbalikan sedemikian rupa untuk menguntungkan salah satu pasangan calon. Maka
terkait hal itu, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah politik untuk
agama ? Atau sebaliknya agama untuk politik ?”.
Sebagai
politisi yang menguasai pemerintahan anda bisa menggunakan politik sebagai alat
memperkuat agama, atau malah sebaliknya anda menjadikan agama sebagai alat
memperkuat posisi politik anda (bagi penganut Machiavellis hal semacam ini
halal, tapi setahu saya hal semacam ini tidak berlaku pada masa kepemimpinan
khilafah).
Bagi
setiap tim sukses pasangan calon mana saja, isu agama adalah sebuah hal yang
seksi untuk dibahas, hampir tidak ada habisnya. Kita terkadang buta atau memang
sengaja dibutakan oleh informasi-informasi yang diputar balik. Ada yang
mengatakan kita harus melihat kemampuan seorang dalam ilmu agamanya untuk
dijadikan pemimpin, mayoritas dari kita semua mendengar kalimat itu, tapi
sesungguhnya dalam pandangan saya ada yang hilang dari kalimat di atas, kita
kerap lupa apa yang telah dilakukan seseorang terkait agama yang kerap dijadikan
pendulang popularitasnya dalam sebuah pemilihan dan pesta demokrasi. Dan seperti
biasa pikiran kita dibolak balik seperti judul tulisan di atas.
Apakah
Abraham Lincoln seorang budak ? Tidak. Tapi dia merumuskan sebuah peraturan
yang menghapuskan perbudakan. Apakah Jhon F Kennedy seorang minoritas di Amerika
Serikat ? Tidak. Tapi dia merumuskan peraturan persamaan hak di Amerika Serikat. Kesimpulannya adalah, kita
tidak bisa menilai seseorang dari apa yang dia katakan saja. Kita kerap terlena
dalam sebuah pemberitaan yang tidak jelas lagi dasar dan tolak ukurnya, dan
terkadang memang sengaja dikondisikan demikian oleh setiap media. Apakah itu
media massa, elektronik ataupun sosial media.
Saya
kenal seseorang yang tidak hafal Al-Quran namun berhasil merumuskan sebuah
peraturan yang mengikat tentang kewajiban membayar zakat, penggunaan pakaian
muslim bagi anak sekolah dan kegiatan-kegiatan yang meramaikan mesjid. Bagi saya
orang ini adalah orang yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk agama. Dalam
hal ini persis seperti Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei. Di satu sisi saya
juga membaca sejarah Mugabe di Afrika sana yang menggunakan kekuasaan
politiknya untuk memiskinkan rakyatnya sendiri, atau Kemal Attaturk di Turki
yang menggunakan kekuasaan politiknya untuk menghapuskan peraturan-peraturan yang
islami. Saya tidak mengatakan orang yang menggunakan agama untuk kekuasaan
politiknya, tapi bukan berarti itu tidak ada. Jelas ada ! Hanya saja mungkin
waktulah yang akan membuktikan cepat atau lambat.
Kita
semua telah melihat politisi-politisi yang berbicara, berpidato dan berorasi dengan
pengetahuan agama yang mendalam dengan semua referensinya, tapi kita lupa,
sudahkah mereka melakukan apa yang mereka sampaikan di mimbar ? Sudahkah mereka
melaksanakan pengetahuan agama yang mereka miliki untuk masyarakat banyak ?
Atau banyak dari mereka yang mengambil beberapa ayat yang menguntungkan bagi
mereka saja, lalu berpura-pura lupa tentang ayat-ayat lain yang melarang mereka
menghalalkan segala cara, yang melarang mereka memfitnah dan melarang mereka
mendendam.
Bagi
ulama dan politisi yang baik, agama adalah tujuan dan kekuasaan politik hanyalah alat. Tapi
bagi sebagian lainnya, kekuasaan politik adalah tujuan sedangkan agama hanyalah sebuah
alat, komoditi. Kita semua bertanggung jawab atas sebuah kondisi yang terbalik
ini, oleh karena itu, semoga tulisan ini mampu memberikan khazanah atau
pandangan lain bagi pembaca yang budiman. Kita harus tegas menolak
pemutarbalikan logika berpikir. Kita tidak sebodoh itu.
Contoh
sederhana lainnya, saya bisa mengatakan cinta kepada semua wanita yang saya
kenal, tapi jelas tindakan saya lah yang kelak akan membuktikan apakah benar
saya mencintainya atau tidak. Karena sejatinya kata-kata tidaklah pernah cukup.
Wassalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar