Untuk
kedua kalinya Fauzi Bahar hampir dipastikan gagal untuk menjadi bagian dari
sejarah Rumah Bagonjong Kantor Gubernur Sumatera Barat. Upaya dan usaha yang
dilakukan untuk menjadi seorang Gubernur atau Wakil Gubernur tentu bukanlah
upaya ringan. Butuh pengorbanan yang sangat besar baik secara moril ataupun
materil. Namun nampaknya takdir memang tidak berpihak kepada Fauzi Bahar yang
berasal dari Koto Tangah Kota Padang.
Jika
saya bisa memberikan suatu analisa yang menjadi sebab dari kegagalan tersebut,
antara lain :
1. Fauzi
tidak memiliki lawan tanding berpikir yang mumpuni. Banyak dari keputusan yang
dibuat oleh timses terlihat tidak tepat sasaran. Pada kondisi seperti itu
hendaknya Fauzi memiliki seorang “pembantah” yang mampu berdebat dengan baik
perihal keputusan yang diambil. Bukan hanya sekedar staff yang begitu pintar
tapi malah bersifat yes man. Ingat, kehilangan
lawan berpikir adalah awal dari kebutaan realita kehidupan.
2. Koalisi
partai yang sangat gemuk menjadi sulit untuk digerakan dan rawan pecah kongsi
sebelum perperangan yang sebenarnya. Partai politik saat ini tidak digerakan
oleh cita-cita bersama. Tapi hanya digerakan oleh kesamaan angka-angka. Kita tidak
perlu terlalu naif untuk hal ini. Sudah menjadi rahasia umum bukan ?
3. Timses
telah mengabaikan peran media sosial. Seharusnya tim ini bisa belajar banyak
dari kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres yang lalu, dimana pencitraan yang
dilakukan oleh tim media sosial mereka sangat massive dan terstruktur. Kita tidak bisa berharap banyak kepada
media untuk memberikan fakta, karena hampir semua media massa baik cetak,
elektronik apalagi sosial juga memiliki agenda tersembunyi atau
terang-terangan.
4. Dari
awal saya sudah memperkirakan bahwa pasangan MK-Fauzi hanya mampu memenangkan
Pilgub jika persentase partisipasi masyarakat yang memilih mencapai minimal
70%. Hal ini juga berkaitan dengan KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Gubernur
(Pilgub). Keterbatasan dana, sempitnya waktu, keterbatasan personil, minimnya
sosialisasi, sekarang hanya menjadi bumbu dari pembelajaran kita berdemokrasi.
5. Kesadaran
politik masyarakat yang masih sangat rendah. Kita tidak seperti Maluku dan
Sulawesi Selatan yang lebih dinamis. Kita Sumatera Barat hanya diisi oleh
pedagang dan PNS. Dan rasanya hampir dapat dipastikan dari dua kalangan itu,
maka yang terpacu untuk menggunakan hak suaranya adalah PNS. Dan tidak sulit
untuk mendapatkan suara mayoritas dari PNS, cukup gunakan APBD untuk menaikan
tunjangan daerah, maka anda telah berkampanye dengan menggunakan dana APBD
(secara tidak langsung) dan memang di situlah keunggulan incumbent mana saja. Kekuatan birokrasi masih sangat dominan untuk
Sumatera Barat, sehingga butuh upaya yang luar biasa besar untuk menumbangkan
hal itu.
6. Last but not least,
memang takdir belum memihak. Dan bagi Fauzi Bahar sendiri mungkin ini waktu
yang tepat untuk pensiun dari dunia perpolitikan. Selama Fauzi masih menerima
pandangan orang-orangnya yang begitu naif dan tidak memiliki aura “membunuh”,
maka selama itu pun Fauzi tidak akan memenangkan kontes politik apapun. Politik
itu permainan kejam, bukan seperti permainan barbie atau bongkar pasang.
Selamat
kepada Sumatera Barat yang telah melaksanakan proses demokrasinya. Segala kekurangan
adalah pembelajaran, tapi yakinlah, untuk demokrasi ini kita tidak akan pernah
berhenti belajar. Malah banyak diantaranya kita selalu mempelajari hal yang
sama dari tahun ke tahun. Selamat bagi pemenang. Bagi yang kalah, silahkan buka
mata anda lebar-lebar, apakah anda melihat Ka’bah di hadapan anda ? Tidak. Karena
memang kita tidak di tanah Arab Bung ! Wassalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar