Berhubungan
dengan kehebohan masalah “ahli psikologi” yang sedang berpolitik di sosial
media, yang menghadirkan puluhan komentar, baik komentar yang masih ada,
ataupun komentar yang sudah dihapus, maka melalui tulisan kali ini, saya dengan
pengetahuan saya yang tidak terlalu tinggi akan coba mengulasnya secara umum. Tapi
patut dicatat terlebih dahulu saya belumlah “ahli politik” apalagi “ahli
psikologi”. Saya hanya tahu norma-norma yang berlaku umum dalam kehidupan bermasyarakat.
Psikologi
secara umum adalah ilmu yang mempelajari karakteristik, pikiran dan perilaku
manusia. Sementara politik adalah ilmu yang mempelajari mengenai kekuasaan,
cara mendapatkannya, cara menggunakannya dan cara mempertahankannya. Lalu apa
hubungannya antara psikologi dan politik ? Pada satu titik dua disiplin ilmu
ini akan bertemu dan menjadi satu. Politik yang berbicara mengenai kekuasaan
individu atau kelompok manusia, sementara psikologi berbicara mengenai fenomena
perilaku, karakter dan pikiran manusia yang memegang kekuasaan itu.
Adalah
sebuah foto yang menggambarkan seorang calon gubernur Propinsi Sumatera Barat
yang juga ahli psikologi terlihat sedang memberikan sebuah pengarahan di
hadapan para guru TK dan PAUD yang bertempat di sebuah bangunan pemerintah,
Palanta Rumah Dinas Walikota Padang. Tidak ada yang salah rasanya jika hal itu
dilakukan oleh seorang Gubernur yang “ahli psikologi” atau seorang yang tidak
sedang ikut pencalonan Gubernur tapi memang seorang yang ahlli psikologi. Sama halnya
jika acara tersebut diselenggarakan setelah tanggal 9 Desember 2015 ini maka
tidak akan menghadirkan sebuah polemik di media sosial.
Secara
psikologi, rasanya seorang yang ahli psikologi tentu paham bahwa kegiatan itu
kurang elok rasanya dilaksanakan. Hal itu sama halnya dengan anda datang makan
siang ke rumah orang yang sedang berpuasa. Boleh ? Ya tentu boleh saja. Etis ?
hhmmm... silahkan anda nilai sendiri. Seperti yang saya katakan sebelumnya, ada
ribuan jawaban yang bisa diberikan untuk kejanggalan kegiatan yang menghadirkan
salah satu calon gubernur yang didukung oleh partai dakwah itu. Dan memang
terbukti, jawabannya adalah calon gubernur ini diundang sebagai ahli psikologi,
bukan sebagai seorang Calon Gubernur. Kalau anda ingin tertawa, saya sangat
mempersilahkan...
Hubungannya
dengan politik. Politik dewasa ini sangat kental dengan nuansa menghalalkan
segala cara. Anda dihalalkan menuduh saudara seiman dengan sebutan sesat,
kafir, kristenisasi dan segala macam demi mencapai tujuan politik anda. Persis sama
ketika zaman PKI masih ada di Indonesia yang bisa seenaknya memberikan julukan
kabir (kapitalis birokrat), antek atau agen imperialis kepada lawan politiknya.
Jadi secara psikologi, hal ini sebenarnya bertentangan, karena secara
psikologis, seorang calon akan tahu dan paham bahwa perbuatannya akan terasa
janggal, tapi secara politis hal itu halal saja dilakukan.
Dalam
hal ini, bagi saya pasangan calon yang bertingkah seperti ini sama saja dengan
Amerika Serikat yang selalu setia dengan standar gandanya. Jika pelaku
penembakan adalah muslim maka akan dicap teroris, jika pelaku penembakan non
muslim maka akan dianggap kejahatan kriminal biasa. Jika bom meledak di Paris
dan menewaskan anak kecil maka akan dianggap teror, jika mereka mengirimkan bom
ke Suriah maka itu dipandang sebagai tindakan heroik.
Saya
melihat seseorang menuliskan kalimat, “Astaghfirullah, zaman sekarang ini masih
ada yang berburuk sangka, segera istighfar dan seterusnya...” lebih kurang
kalimatnya seperti itu. Pertanyaan saya, apakah tuan yang satu ini benar-benar
muslim, atau hanya menjadi seorang muslim bagi hal yang menguntungkan baginya. Apakah
memang tuan ini memiliki pengetahuan agama yang begitu tinggi, atau memang tuan
ini hanya menganggap jutaan orang lain yang ada di Sumatera Barat ini sebagai
pinokio (boneka kayu) saja ?
Jika
seseorang menuduh salah satu calon gubernur melakukan kampanye terselubung yang
difasilitasi oleh pemerintah kota, maka itu dianggap berburuk sangka. Namun jika
pihak calon gubernur yang berkuasa ini menuduh pasangan calon lainnya dengan
banyak hal buruk lainnya maka itu dipandang biasa saja ? Apakah itu tidak
tergolong dalam buruk sangka juga ? Tentu saja tidak, karena anda sedang
berkuasa bukan ? Dan tentu anda tidak akan menganjurkan orang yang sedang
berkuasa ini untuk istighfar juga bukan ? Ah tuan... Tidak perlu menjilat untuk terlihat, tidak perlu mengonggong untuk ditolong dan tidak perlu menggigit untuk terlihat setia. Hidup tidaklah seanjing itu tuan...
Secara
psikologis anda tahu yang anda lakukan janggal, tapi kemudian anda
membiasakannya dan menganggap orang lain telah berburuk sangka. Di sisi lain anda tahu bahwa sebuah fakta telah anda putar
balikan, dan anda memandangnya sebagai jihad ? Ah... Untung saja dulu saya
tidak mengambil jurusan psikologi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar