Hampir
di setiap gelaran Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada), partisipasi
pemilih hanya berada di ambang 50-60%. Jika sebagian orang beranggapan
pemilihan langsung adalah sebuah bentuk “kemajuan” kita dalam berdemokrasi,
maka bolehkah saya mengatakan tingkat persentase pemilih yang rendah ini
sebagai kemunduran demokrasi ?
Jika
kita bertanya salah siapa, maka hampir semua mata akan tertuju kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU) selaku event
organizer (EO) dari setiap gelaran Pilkada ini. Namun jika boleh
berjujur-jujur, sebenarnya bukan hanya kesalahan KPU. Bukankah gelaran Pilkada
ini adalah sebuah “kemunduran” yang diseting sedemikian sistematisnya bagi
Indonesia ? Namun jika saya mengatakan pemilihan langsung sebagai sebuah
kemunduran, maka akan banyak yang akan menujukan pandangannya kepada saya,
kenapa ? Semenjak diberlakukannya pemilihan langsung begitu banyak “lapangan
kerja” yang terbuka. Mulai dari tim sukses, konsultan politik, lembaga survey
sampai nanti pengusaha digital printing.
Sebagai
contoh, sebuah lembaga survey biasanya harus bersikap netral, namun pada
kenyataannya, mereka tidaklah senetral yang biasanya. Tambah lagi biasanya yang
orang-orang yang mengisi lembaga survey ini adalah orang-orang yang terdidik
alias dari kalangan akademisi. Idealnya akademisi akan menjaga netralitasnya
demi keilmuannya, namun jika lembaga survey yang digawanginya sudah mengikat
kontrak kerja sama dengan salah satu pasangan calon, masihkah ada netralitas
itu ? Logika saya mengatakan tidak demikian. Tambah lagi di sisi lain,
pandangan akademisi terhadap suatu hal tidak bisa dikatakan tidak memberikan
pengaruh yang besar terhadap pandangan masyarakat luas. Karena bagi masyarakat
mereka adalah akademisi, orang yang terdidik dan memiliki ilmu di bidangnya.
Kasarnya, akademisi pun sudah menjadi bagian dari tim sukses ketika lembaga
survey yang digawanginya mengikat kontrak kerja dengan salah satu pasangan
calon.
Pegawai
Negeri Sipil (PNS), sudah bukan rahasia umum jika PNS pada umumnya selalu
menjadi bagian dari timses. Terutama PNS yang menjadi pejabat kepala SKPD.
Kapan hal semacam ini terjadi ? Hanya sejak diberlakukannya pemilihan langsung
kepala daerah alias Pilkada. Setelah Pilkada usai maka “pembersihan” dimulai,
dan balas jasa dilakukan sejalan. Hal ini baik jika yang terkena pembersihan
adalah PNS-PNS yang tidak memiliki dedikasi terhadap tugasnya, namun mari
berjujur-jujur saja, dedikasi akan tugas itu tidaklah menjadi bahan
pertimbangan, sama sekali. Akibatnya adalah pemerintah daerah kehilangan
potensi-potensi yang seharusnya bisa dimanfaatkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Saya tidak paham apakah ini juga bentuk kemajuan seperti
yang diutarakan para “penggila demokrasi”.
Jika
tidak salah ratusan triliun digelontorkan untuk membiayai penyelenggaraan
Pilkada di Indonesia, yang kemudian menghasilkan 50-60% partisipasi pemilih.
Kemudian orang-orang berteriak masih banyak sekolah beratapkan langit di Papua
? Masih sulitnya akses jalan di Papua ? Masih rendahnya alokasi anggaran untuk
pendidikan ? Lalu kita masih menganggap Pilkada sebagai kemajuan ? Bahkan
dengan tingkat partisipasi mencapai 90% pun saya masih ragu akan “kemajuan
demokrasi” yang diklaim oleh Pilkada ini. Kenapa ? Karena itu menunjukan kita
tidak lagi sebuah bangsa yang terstruktur dan memiliki orang-orang yang
ditinggikan seranting atau didahulukan selangkah. Kita justru terhanyut dalam
euforia one person one vote, yang menganut
azas persamaan, dimana suara orang yang tidak menempuh pendidikan akan sama
dengan suara seorang profesor atau guru besar. Pertanyaan saya, dengan kondisi
seperti itu apakah kita demokratis atau justru Marxis ?
Pasca
Pilkada, ada berapa banyak konflik horizontal yang harus ditangani oleh Polri ?
Berapa kerusuhan dan pengerusakan yang terjadi ? Demonstrasi yang kemudian
berujung kepada tindakan anarkis. Apakah ini juga kemajuan kita dalam demokrasi
?
Juga
jika tidak salah, cukup banyak kepala daerah yang dilahirkan dari Pilkada
langsung justru berakhir dengan rompi oranye bertuliskan “TAHANAN KPK”. Saya
juga ingin bertanya, apakah hal semacam ini juga bentuk kemajuan kita dalam
berdemokrasi ? Salah siapa ? Salah si Kepala Daerah ? Atau justru lebih
diakibatkan kesalahan sistem yang dibangun.
Saya
tahu, dengan mengatakan Pilkada sebagai kegagalan, maka saya akan menghadapi
pandangan dan komentar sinis dari para pemegang kepentingan dari Pilkada itu
sendiri. KPU, Panwaslu, Lembaga Survey, Konsultan Politik, Timses, mungkin
banyak lainnya. Namun Jika kita berpikir untuk Indonesia, bolehlah kita
berjujur-jujur saja. Tidak satu pun negara maju di dunia yang menerapkan sistem
pemilihan langsung dalam demokrasinya. Apakah kita sedang mencoba untuk menjadi
yang pertama ? Well... Good luck !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar