Sabtu, 24 Oktober 2015

MENYIBAK PNS/ASN SEBAGAI TIMSES



Pada kesempatan kali ini, saya menulis dengan judul di atas, “Menyibak ASN sebagai timses”. Alasan saya menulis dengan judul tulisan di atas sebenarnya cukup banyak, namun alasan utamanya adalah ya... dengar-dengar ribut-ribut masalah PNS/ASN jadi timses itu sendiri. Ada yang pro dan tentu saja ada yang kontra. Lebih lanjut malah ada yang sampai menggunakan kata-kata ..... ayam segala dalam menentukan level kepintaran seorang PNS/ASN itu sendiri.
Oke, mari kita bicara mengenai ASN, sekaligus bicara mengenai timses. Idealnya dua hal di atas adalah hal yang terpisah, tapi itu kan dalam kondisi ideal... dengan sistem pemerintahan yang ideal, pelaksana pemerintahan yang ideal, dan juga aturan yang ideal. Nah, mengingat kondisi ideal itu adalah sebuah visi yang amat sangat jauh di depan, maka kali ini kita bicara mengenai kondisi faktual saja.
Sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 43 tahun 1999, Peraturan Pemerintah nomor 18 Tahun 2013, Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2004 serta Surat Edaran Menpan RB nomor 4 tahun 2004, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa PNS/ASN dilarang terlibat dalam politik praktis, yang mana politik praktis itu antara lainnya adalah menjadi timses. Nah, seperti yang saya sampaikan pada paragraf di atas, semua yang tercantum dalam semua peraturan perundang-undangan yang saya tuliskan di sini adalah guna mencapai sebuah kondisi ideal. Namun tentu saja kondisi ideal, bisa sedikit atau malah jauh berbeda dengan kondisi faktual yang ada.
Permasalahan selanjutnya adalah, bagaimana sih semestinya PNS/ASN itu sendiri ? Seperti yang pernah saya gambarkan pada tulisan-tulisan sebelumnya, keterlibatan PNS  dalam sebuah timses, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah sebuah keniscayaan. Kenapa demikian ? Juga seperti yang sudah pernah saya sampaikan sebelumnya, era pilkada yang menandai “dimulainya” demokrasi di Indonesia ini menuntut sebuah keadaan yang suka atau tidak suka, mau tidak mau akan terdapat PNS/ASN yang akan terlibat dalam politik praktis itu sendiri. Sekali lagi saya tegaskan bahwa ini adalah kondisi faktual, bukan kondisi ideal, yang menjadi persoalan adalah terdapat begitu banyak pro dan kontra terkait keterlibatan PNS/ASN itu sendiri. Pada tulisan kali ini, saya hanya akan mengutarakan pendapat pribadi saya mengenai kondisi tersebut.
Saya harus menegaskan, bahwa saya pribadi tidak bisa memandang keterlibatan PNS/ASN dalam sebuah timses baik secara langsung maupun tidak langsung adalah sebuah kesalahan mutlak. Karena apa ? Karena memang kondisi yang diciptakan bagi PNS/ASN mengharuskan mereka untuk terlibat demi satu hal dan banyak hal lainnya. Kali ini kita tidak akan bicara mengenai boleh atau tidak boleh, benar atau salah, namun hanya akan membahas suatu kondisi yang memang nyata-nyata ada dan eksis dalam sebuah sistem.
Sebagai kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat (namun tentu saja sangat sulit untuk diberhentikan oleh masyarakat), sudah sewajarnya kepala daerah memiliki berbagai macam hak prerogatif. Termasuk dalam pembinaan karir kepegawaian di daerah yang ia pimpin. Pertanyaannya, apa hubungannya kepegawaian dengan timses ? Sekali lagi sebagaimana yang sudah disampaikan pada tulisan saya terdahulu, timses dibentuk atas kesamaan tujuan untuk mensukseskan suatu misi atau untuk mencapai sebuah tujuan. Begitu tujuan sudah didapatkan, sudah semestinya pula timses menerima keistimewaan sendiri. Siapapun itu timsesnya, apakah swasta ataupun PNS/ASN. Apakah ini kondisi ideal ? Tentu saja tidak. Apakah ini faktual ? bisa dikatakan begitu. Apakah ini lumrah ? tentu saja dapat dimaklumi.
Keterkaitan PNS/ASN dengan sebuah timses adalah sebuah hal yang sangat bisa dimaklumi, itu pasti. Sebagaimana PNS/ASN Kota Padang yang siap sedia layaknya komandan militer ketika Fauzi Bahar memimpin Kota Padang, maka kali ini PNS/ASN Kota Padang akan memanggil dengan sebutan Buya, Umi, Antum atau Ana ketika Walikota Padang dijabat oleh Mahyeldi. Hal ini sangat lumrah, karena dalam kehidupan manusia, berkelompok adalah hal yang penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Hal ini saya rasa berlaku bagi siapa saja, termasuk saya ataupun pembaca yang budiman. Ya... istilah kerennya zoon politicon kalau kata dosen saya. Penting bagi manusia untuk memastikan dia berada dalam kelompok yang benar, atau setidaknya menurutnya benar, untuk mempertahankan eksistensi dirinya sendiri. Apakah itu salah ? Jujur saja, bukankah itu manusiawi ?
Kekeliruan kita sebagai manusia, termasuk saya, terkadang kita terlalu larut dalam euforia kekelompokan sehingga sedikit menginjak batas antara kejujuran dan kemunafikan. Karena bagi saya sudah sepantasnya dan wajar saja seorang Walikota akan memilih dan melantik orang-orang yang akan mendukungnya dalam segala hal. Oleh karena itu dalam beberapa waktu ketika Zainal Bakar menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat maka masyarakat mengatakan “alah pindah kantua Bupati Pariaman ka jalan Sudirman”. Sama halnya ketika Gamawan Fauzi menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, “alah urang solok se isi kantua Gubernur ko mah”. Apakah hal itu salah ? bisa ya, bisa tidak. Karena memang tergantung kepada pilihan kepala daerah masing-masing.
Dalam hal Kota Padang, apakah salah seorang Walikota Padang memilih, mendukung dan melantik orang-orang yang menurutnya akan bisa membantunya ? Tentu saja tidak. Namun apakah salah bagi orang-orang (PNS/ASN) yang memilih untuk tidak berkompromi dengan Walikota dengan berbagai macam alasan ? tentu juga tidak. Karena di tengah hegemoni kelompok yang memilih eksistensi berkelanjutan, juga terdapat golongan minoritas yang memiliki pandangan lain terhadap sebuah visi, misi dan cita-cita. Bagi sebagian kecil kelompok lebih memilih pendekatan sense of leadership, tidak lagi pendekatan eksistensi. Apakah hal itu berdampak terhadap mereka ? Pasti ! Karena tidak ada pilhan dalam hidup yang tidak memiliki konsekuensi ? Apakah mereka termasuk dalam golongan yang bodoh ? Belum tentu...
Nah, melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa tidak ada yang salah untuk menjadi pihak yang menang ataupun pihak yang kalah. Karena kondisi tersebut adalah keniscayaan. Itulah kondisi faktualnya, dan suka atau tidak sudah sewajarnya kita harus hidup dengan kondisi itu. Namun sekali lagi tidak ada yang salah dengan kondisi itu. Tidak perlu minder untuk menjadi minoritas, menjadi berbeda, karena minimal anda berdiri dengan sikap dan mental anda sendiri, hal yang semakin hari semakin sulit dan langka untuk ditemui. E Pluribus Unum ! Sampai jumpa di tulisan lain. Wassalam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar