Pada
kesempatan kali ini, saya menulis dengan judul di atas, “Menyibak ASN sebagai
timses”. Alasan saya menulis dengan judul tulisan di atas sebenarnya cukup
banyak, namun alasan utamanya adalah ya... dengar-dengar ribut-ribut masalah PNS/ASN
jadi timses itu sendiri. Ada yang pro dan tentu saja ada yang kontra. Lebih
lanjut malah ada yang sampai menggunakan kata-kata ..... ayam segala dalam
menentukan level kepintaran seorang PNS/ASN itu sendiri.
Oke,
mari kita bicara mengenai ASN, sekaligus bicara mengenai timses. Idealnya dua
hal di atas adalah hal yang terpisah, tapi itu kan dalam kondisi ideal...
dengan sistem pemerintahan yang ideal, pelaksana pemerintahan yang ideal, dan
juga aturan yang ideal. Nah, mengingat kondisi ideal itu adalah sebuah visi yang
amat sangat jauh di depan, maka kali ini kita bicara mengenai kondisi faktual
saja.
Sebagaimana
yang diamanatkan oleh UU No 43 tahun 1999, Peraturan Pemerintah nomor 18 Tahun
2013, Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2004 serta Surat Edaran Menpan RB
nomor 4 tahun 2004, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa PNS/ASN dilarang
terlibat dalam politik praktis, yang mana politik praktis itu antara lainnya
adalah menjadi timses. Nah, seperti yang saya sampaikan pada paragraf di atas,
semua yang tercantum dalam semua peraturan perundang-undangan yang saya
tuliskan di sini adalah guna mencapai sebuah kondisi ideal. Namun tentu saja
kondisi ideal, bisa sedikit atau malah jauh berbeda dengan kondisi faktual yang
ada.
Permasalahan
selanjutnya adalah, bagaimana sih semestinya PNS/ASN itu sendiri ? Seperti yang
pernah saya gambarkan pada tulisan-tulisan sebelumnya, keterlibatan PNS dalam sebuah timses, baik secara langsung
maupun tidak langsung adalah sebuah keniscayaan. Kenapa demikian ? Juga seperti
yang sudah pernah saya sampaikan sebelumnya, era pilkada yang menandai
“dimulainya” demokrasi di Indonesia ini menuntut sebuah keadaan yang suka atau
tidak suka, mau tidak mau akan terdapat PNS/ASN yang akan terlibat dalam
politik praktis itu sendiri. Sekali lagi saya tegaskan bahwa ini adalah kondisi
faktual, bukan kondisi ideal, yang menjadi persoalan adalah terdapat begitu
banyak pro dan kontra terkait keterlibatan PNS/ASN itu sendiri. Pada tulisan
kali ini, saya hanya akan mengutarakan pendapat pribadi saya mengenai kondisi
tersebut.
Saya
harus menegaskan, bahwa saya pribadi tidak bisa memandang keterlibatan PNS/ASN
dalam sebuah timses baik secara langsung maupun tidak langsung adalah sebuah
kesalahan mutlak. Karena apa ? Karena memang kondisi yang diciptakan bagi PNS/ASN
mengharuskan mereka untuk terlibat demi satu hal dan banyak hal lainnya. Kali
ini kita tidak akan bicara mengenai boleh atau tidak boleh, benar atau salah,
namun hanya akan membahas suatu kondisi yang memang nyata-nyata ada dan eksis
dalam sebuah sistem.
Sebagai
kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat (namun tentu saja sangat sulit untuk
diberhentikan oleh masyarakat), sudah sewajarnya kepala daerah memiliki
berbagai macam hak prerogatif. Termasuk dalam pembinaan karir kepegawaian di
daerah yang ia pimpin. Pertanyaannya, apa hubungannya kepegawaian dengan timses
? Sekali lagi sebagaimana yang sudah disampaikan pada tulisan saya terdahulu,
timses dibentuk atas kesamaan tujuan untuk mensukseskan suatu misi atau untuk
mencapai sebuah tujuan. Begitu tujuan sudah didapatkan, sudah semestinya pula
timses menerima keistimewaan sendiri. Siapapun itu timsesnya, apakah swasta
ataupun PNS/ASN. Apakah ini kondisi ideal ? Tentu saja tidak. Apakah ini
faktual ? bisa dikatakan begitu. Apakah ini lumrah ? tentu saja dapat
dimaklumi.
Keterkaitan
PNS/ASN dengan sebuah timses adalah sebuah hal yang sangat bisa dimaklumi, itu
pasti. Sebagaimana PNS/ASN Kota Padang yang siap sedia layaknya komandan militer
ketika Fauzi Bahar memimpin Kota Padang, maka kali ini PNS/ASN Kota Padang akan
memanggil dengan sebutan Buya, Umi, Antum atau Ana ketika Walikota Padang
dijabat oleh Mahyeldi. Hal ini sangat lumrah, karena dalam kehidupan manusia,
berkelompok adalah hal yang penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Hal ini saya rasa berlaku bagi siapa saja, termasuk saya ataupun pembaca yang
budiman. Ya... istilah kerennya zoon
politicon kalau kata dosen saya. Penting bagi manusia untuk memastikan dia
berada dalam kelompok yang benar, atau setidaknya menurutnya benar, untuk mempertahankan
eksistensi dirinya sendiri. Apakah itu salah ? Jujur saja, bukankah itu
manusiawi ?
Kekeliruan
kita sebagai manusia, termasuk saya, terkadang kita terlalu larut dalam euforia
kekelompokan sehingga sedikit menginjak batas antara kejujuran dan kemunafikan.
Karena bagi saya sudah sepantasnya dan wajar saja seorang Walikota akan memilih
dan melantik orang-orang yang akan mendukungnya dalam segala hal. Oleh karena
itu dalam beberapa waktu ketika Zainal Bakar menjabat sebagai Gubernur Sumatera
Barat maka masyarakat mengatakan “alah
pindah kantua Bupati Pariaman ka jalan Sudirman”. Sama halnya ketika
Gamawan Fauzi menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, “alah urang solok se isi kantua Gubernur ko mah”. Apakah hal itu
salah ? bisa ya, bisa tidak. Karena memang tergantung kepada pilihan kepala
daerah masing-masing.
Dalam
hal Kota Padang, apakah salah seorang Walikota Padang memilih, mendukung dan
melantik orang-orang yang menurutnya akan bisa membantunya ? Tentu saja tidak.
Namun apakah salah bagi orang-orang (PNS/ASN) yang memilih untuk tidak
berkompromi dengan Walikota dengan berbagai macam alasan ? tentu juga tidak.
Karena di tengah hegemoni kelompok yang memilih eksistensi berkelanjutan, juga
terdapat golongan minoritas yang memiliki pandangan lain terhadap sebuah visi,
misi dan cita-cita. Bagi sebagian kecil kelompok lebih memilih pendekatan sense of leadership, tidak lagi
pendekatan eksistensi. Apakah hal itu berdampak terhadap mereka ? Pasti !
Karena tidak ada pilhan dalam hidup yang tidak memiliki konsekuensi ? Apakah
mereka termasuk dalam golongan yang bodoh ? Belum tentu...
Nah,
melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa tidak ada yang salah
untuk menjadi pihak yang menang ataupun pihak yang kalah. Karena kondisi
tersebut adalah keniscayaan. Itulah kondisi faktualnya, dan suka atau tidak
sudah sewajarnya kita harus hidup dengan kondisi itu. Namun sekali lagi tidak
ada yang salah dengan kondisi itu. Tidak perlu minder untuk menjadi minoritas,
menjadi berbeda, karena minimal anda berdiri dengan sikap dan mental anda
sendiri, hal yang semakin hari semakin sulit dan langka untuk ditemui. E
Pluribus Unum ! Sampai jumpa di tulisan lain. Wassalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar