Senin, 26 Oktober 2015

PEMERINTAHAN BUKAN RAMPASAN PERANG



(image : sinarharapan.co)


Kali ini saya akan bercerita mengenai fenomena termutakhir di Indonesia, tapi bukan tentang kabut asap, karena saya bukan mahasiswa teknik lingkungan apalagi ahli habitat. Kali ini saya akan bercerita mengenai pemilihan langsung kepala daerah alias pilkada.
Mungkin juga banyak terjadi di tempat kawan-kawan pembaca sekalian, apalagi kalau agan-agan yang membaca tulisan ini berada dalam wilayah kedaulatan NKRI maka kawan-kawan akan mengetahui itu pilkada. Yupp, pilkada ini adalah proses kita untuk memilih kepala daerah, yang dicalonkan oleh parpol yang kemudian dikompetisikan oleh KPU sebagai wasit dan Panwaslu sebagai asisten wasit. Lebih kurang terminologi sederhananya mungkin begitu. Nah, siapa yang akan bertanding atau berperang satu sama lain ? Ya tentu saja pasangan calon, masa yang bertanding antar Kabag atau Camat ?
Oke, selanjutnya. Layaknya dua tim atau pasukan yang akan berperang maka tentu akan ada supporting act, alias aktor pendukung. Bisa jadi pendukung logistik, donatur, kreditur, debitur, pengamanan, prajurit medsos dan banyak lainnya. Makanya tidak heran kalau satu pilkada aja bisa habisin doku sampai miliaran. Dan kita juga sama-sama tahu kalau tidak ada makan siang yang gratis, yang gratisan ya di rumah orang tua masing-masing. Artinya tidak ada uang yang tidak memberikan feed back. Lha wong sedekah aja diganjar pahala kok, apalagi sedekahan dari donatur pasangan calon, masa bakal diikhlaskan ? Rada-rada impossible rasanya.
Kalau kawan-kawan menonton film Braveheart, The Last Samurai, atau Kongdom Of Heaven, mungkin kawan-kawan akan beranggapan kalau perang itu fair dan sportif. Tapi perang semacam itu terjadinya ratusan tahun yang lalu. Nah di zaman yang serba modern sekarang, kita tidak menemui kondisi seperti itu lagi, apalagi dalam pilkada. Kasarnya kalau masih bisa dijelekin, jelekin terus gan... Kalau yang mau dijelekin udah habis, fitnah juga halal coy...!!! Soalnya yang dipertaruhkan miliaran loh coy, bukan gocap atau goceng. Namun yang jadi masalah paling besar, masyarakat kita kebanyakan nonton sinetron atau telenovela coy, dimana yang nangis duluan dan paling kueennnccceeeng dia yang teraniayanya. Untuk kasus ini, lebih kurang seperti Camerlengo di filmnya Angels and Demons. Teriaknya paling kenceng dan lurusnya seperti yang paling lurus memperjuangkan kebenaran, bahkan hampir diangkat jadi Paus Gan, pemimpin umat katolik sedunia mengalahkan karena para kardinal “melihat” dia yang paling suci. Ternyata eh ternyata, agan-agan udah tahu tuh akhir ceritanya. He...He...He...
Artinya apa, terkadang para voter yang menentukan nasib bangsa, propinsi, kabupaten dan kota ini ke depan terlanjur syur dengan covernya gan. Seperti beli majalah dengan cover cewek seksi ternyata isinya malah jualan genset dan pompa air. Mau dipulangin, si tukang majalah tinggal bilang barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan !
Tidak lama setelah KPU tiup peluit tanda peperangan berakhir, setelah berbagai rentetan demo baik yang pra-bayar ataupun yang pasca bayar, sampai ke Mahkamah Kontitusi segala, maka dilantiklah pasangan calon yang diputuskan menang. Untuk lebih kelihatan merakyat, pelantikan bisa dilakukan di tempat-tempat kreatif gan. Bisa di peternakan sapi, tanda si pejabat akan memajukan peternak, di bengkel tanda di pejabat terpilih akan memihak montir atau dimana saja yang bisa agan pikirkan. Bisa dibilang itu hasil kreasi dan tim kreatifnya gan.
Next, perang udah dimenangkan dan SK udah di tangan, selanjutnya detox gan... Selama perperangan kan udah banyak hisap mesiu gan, baik mesiu musuh kadang juga mesiu sendiri, nah kalau mau sehat kan harus detox dulu. Laksamana Maeda disidang pengadilan militer dan dipensiunkan, Brigjen Supardjo ditembak, Louis XVI dipancung, Robert Kennedy ditembak, Oemar Dhani dipenjara, Qadaffi ditembak, Saddam digantung. Ini detox ala politisi lho gan. Namanya politisi pasti orang terkenal dan berkuasa, kalau seleb aja detoxnya bisa sampai puluhan atau ratusan juta, maka untuk politisi bayarannya lebih fantastis lagi gan, bisa karir sampai nyawa orang ! Namanya juga hidup dengan biaya tinggi gan. Itu kalau tingkat negara ya gan, kalau tingkat propinsi, kabupaten dan kota, agan-agan bisa tanya bapaknya yang PNS dan memegang jabatan, kalau salah pilih pasti besoknya bapaknya agan lebih punya banyak waktu untuk keluarga, bisa antar ibu ke pasar, bisa nonton tv bareng, pokoknya mendadak punya banyak waktu lah.
Detox selesai aset mendadak banyak. Kenapa ? Namanya perang udah dimenangkan, sesuai pepatah winner take all, maka semua untuk yang menang gan. Agan sebut aja semua yang ada plat merahnya, semua yang ada SK nya semua bisa diatur. Mau untuk sanak, saudara, famili atau partai pendukung. Semuanya halal ! Kalau ditanya, mereka tinggal bilang, hadistnya ada ! Nah, kalau agan-agan tidak pernah di pesantren kan bakalan repot kalau berdebat dengan hadist. Namun mereka menafsirkan terlalu jauh, karena pilkada bukan perang, tapi proses berdemokrasi, yang menang tidak lantas bisa semena-mena. Bahkan sejarah pernah mengisahkan suatu mesjid yang besar bisa batal dibangun hanya karena satu orang yahudi tidak mau rumah reotnya diganti untung, di sanalah sebenarnya letak berdemokrasi. Lagi pula winner take all sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, lha yang runner up Piala Presiden aja tetap dapat bonus koq ! Sampai jumpa lagi agan-agan semua...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar