(image : sinarharapan.co)
Kali
ini saya akan bercerita mengenai fenomena termutakhir di Indonesia, tapi bukan
tentang kabut asap, karena saya bukan mahasiswa teknik lingkungan apalagi ahli
habitat. Kali ini saya akan bercerita mengenai pemilihan langsung kepala daerah
alias pilkada.
Mungkin
juga banyak terjadi di tempat kawan-kawan pembaca sekalian, apalagi kalau
agan-agan yang membaca tulisan ini berada dalam wilayah kedaulatan NKRI maka
kawan-kawan akan mengetahui itu pilkada. Yupp, pilkada ini adalah proses kita untuk
memilih kepala daerah, yang dicalonkan oleh parpol yang kemudian dikompetisikan
oleh KPU sebagai wasit dan Panwaslu sebagai asisten wasit. Lebih kurang
terminologi sederhananya mungkin begitu. Nah, siapa yang akan bertanding atau
berperang satu sama lain ? Ya tentu saja pasangan calon, masa yang bertanding
antar Kabag atau Camat ?
Oke,
selanjutnya. Layaknya dua tim atau pasukan yang akan berperang maka tentu akan
ada supporting act, alias aktor
pendukung. Bisa jadi pendukung logistik, donatur, kreditur, debitur,
pengamanan, prajurit medsos dan banyak lainnya. Makanya tidak heran kalau satu
pilkada aja bisa habisin doku sampai miliaran. Dan kita juga sama-sama tahu
kalau tidak ada makan siang yang gratis, yang gratisan ya di rumah orang tua
masing-masing. Artinya tidak ada uang yang tidak memberikan feed back. Lha wong sedekah aja diganjar
pahala kok, apalagi sedekahan dari donatur pasangan calon, masa bakal
diikhlaskan ? Rada-rada impossible
rasanya.
Kalau
kawan-kawan menonton film Braveheart, The Last Samurai, atau Kongdom Of Heaven,
mungkin kawan-kawan akan beranggapan kalau perang itu fair dan sportif. Tapi perang
semacam itu terjadinya ratusan tahun yang lalu. Nah di zaman yang serba modern
sekarang, kita tidak menemui kondisi seperti itu lagi, apalagi dalam pilkada. Kasarnya
kalau masih bisa dijelekin, jelekin terus gan... Kalau yang mau dijelekin udah
habis, fitnah juga halal coy...!!! Soalnya yang dipertaruhkan miliaran loh coy,
bukan gocap atau goceng. Namun yang jadi masalah paling besar, masyarakat kita
kebanyakan nonton sinetron atau telenovela coy, dimana yang nangis duluan dan
paling kueennnccceeeng dia yang teraniayanya. Untuk kasus ini, lebih kurang
seperti Camerlengo di filmnya Angels and Demons. Teriaknya paling kenceng dan
lurusnya seperti yang paling lurus memperjuangkan kebenaran, bahkan hampir diangkat
jadi Paus Gan, pemimpin umat katolik sedunia mengalahkan karena para kardinal “melihat”
dia yang paling suci. Ternyata eh ternyata, agan-agan udah tahu tuh akhir
ceritanya. He...He...He...
Artinya
apa, terkadang para voter yang menentukan nasib bangsa, propinsi, kabupaten dan
kota ini ke depan terlanjur syur dengan covernya gan. Seperti beli majalah
dengan cover cewek seksi ternyata isinya malah jualan genset dan pompa air. Mau
dipulangin, si tukang majalah tinggal bilang barang yang sudah dibeli tidak
bisa dikembalikan !
Tidak
lama setelah KPU tiup peluit tanda peperangan berakhir, setelah berbagai
rentetan demo baik yang pra-bayar ataupun yang pasca bayar, sampai ke Mahkamah
Kontitusi segala, maka dilantiklah pasangan calon yang diputuskan menang. Untuk
lebih kelihatan merakyat, pelantikan bisa dilakukan di tempat-tempat kreatif
gan. Bisa di peternakan sapi, tanda si pejabat akan memajukan peternak, di
bengkel tanda di pejabat terpilih akan memihak montir atau dimana saja yang
bisa agan pikirkan. Bisa dibilang itu hasil kreasi dan tim kreatifnya gan.
Next,
perang udah dimenangkan dan SK udah di tangan, selanjutnya detox gan... Selama
perperangan kan udah banyak hisap mesiu gan, baik mesiu musuh kadang juga mesiu
sendiri, nah kalau mau sehat kan harus detox dulu. Laksamana Maeda disidang
pengadilan militer dan dipensiunkan, Brigjen Supardjo ditembak, Louis XVI
dipancung, Robert Kennedy ditembak, Oemar Dhani dipenjara, Qadaffi ditembak,
Saddam digantung. Ini detox ala politisi lho gan. Namanya politisi pasti orang
terkenal dan berkuasa, kalau seleb aja detoxnya bisa sampai puluhan atau
ratusan juta, maka untuk politisi bayarannya lebih fantastis lagi gan, bisa
karir sampai nyawa orang ! Namanya juga hidup dengan biaya tinggi gan. Itu kalau
tingkat negara ya gan, kalau tingkat propinsi, kabupaten dan kota, agan-agan
bisa tanya bapaknya yang PNS dan memegang jabatan, kalau salah pilih pasti
besoknya bapaknya agan lebih punya banyak waktu untuk keluarga, bisa antar ibu
ke pasar, bisa nonton tv bareng, pokoknya mendadak punya banyak waktu lah.
Detox
selesai aset mendadak banyak. Kenapa ? Namanya perang udah dimenangkan, sesuai
pepatah winner take all, maka semua
untuk yang menang gan. Agan sebut aja semua yang ada plat merahnya, semua yang
ada SK nya semua bisa diatur. Mau untuk sanak, saudara, famili atau partai
pendukung. Semuanya halal ! Kalau ditanya, mereka tinggal bilang, hadistnya ada
! Nah, kalau agan-agan tidak pernah di pesantren kan bakalan repot kalau
berdebat dengan hadist. Namun mereka menafsirkan terlalu jauh, karena pilkada
bukan perang, tapi proses berdemokrasi, yang menang tidak lantas bisa
semena-mena. Bahkan sejarah pernah mengisahkan suatu mesjid yang besar bisa
batal dibangun hanya karena satu orang yahudi tidak mau rumah reotnya diganti
untung, di sanalah sebenarnya letak berdemokrasi. Lagi pula winner take all sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman, lha yang runner up Piala Presiden aja tetap dapat
bonus koq ! Sampai jumpa lagi agan-agan semua...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar