Tidak
satupun pendidikan yang mengajarkan untuk kaya di Indonesia. Rata-rata
pendidikan cenderung mengajarkan untuk memahami suatu hal dan kemudian bekerja
untuk perusahaan besar. Rata-rata guru akan berbangga hati jika anak muridnya
bekerja di Chevron, Caltex, Antam atau perusahaan-perusahaan multinasional
lainnya. Namun mereka akan memandang biasa-biasa saja kalau mantan muridnya
membuka usaha pembuatan kerupuk, bengkel atau menjadi penulis. Kenapa ? Saya
pribadi berpikir ini mungkin ada pengaruhnya terhadap berapa lamanya kita
dijajah. Sehingga kita membiasakan diri untuk bekerja untuk seseorang, bukan
untuk diri sendiri.
Sejarah
dan budaya yang melekat pada bangsa kita tentu tidak bisa dilepaskan begitu
saja, namun hampir seluruh masyarakat Indonesia sepakat bagaimana kita begitu
tertinggal jika dibandingkan negara tetangga. Tidak usah jauh, Malaysia saja.
Ada pameo yang menyebutkan, jika dulu mereka mengirim guru untuk belajar di
Indonesia, maka kini kita yang mengiri mahasiswa kita ke sana.
Banyak
sekolah di Indonesia yang mengajarkan sebuah pendidikan formal yang kemudian
tidak aplikatif begitu mereka menamatkan pendidikannya. Jika dalam standar
akademis kita sudah minus, sama halnya dalam standar etika dan moral. Sudah
tidak terhitung banyaknya kasus murid mendemo guru, murid unjuk rasa dan
lain-lain. Apa yang mendasari mereka ? HAM ? Hak sebagai anak ? Karena saya
menilai justru sejak banyaknya pemerhati anak justru kegilaan anak-anak
terutama yang masih usia sekolah malah semakin menggila.
Saya
terkenang akan masa pendidikan dasar dulu, dimana rotan dan mistar sudah
menjadi makanan sehari-hari telapak tangan karena tidak mengerjakan PR
sebagaimana mestinya, namun hal itu tidak serta merta membuat Ayah dan Ibu saya
berlarian ke Polres terdekat untuk melaporkan tindakan “penganiayaan” oleh guru
saya tersebut. Zaman sekarang ? Tidak sedikit guru yang harus meninggalkan jam
mengajarnya karena harus memberikan keterangan di kantor polisi, dan bahkan ada
yang sampai pengadilan.
Jadi
jika saya pribadi memandang, sulit untuk mengharapkan hasil yang baik dari
dunia pendidikan Indonesia. Secara ilmu kita tidak aplikatif, secara adab
amburadul. Jika kita berusaha mencari apa yang salah, maka jawaban standar
seperti biasanya, yang salah adalah seluruh stakeholders dunia pendidikan di
Indonesia, yaitu pemerintah, murid, guru, orang tua dan banyak lainnya. Namun
sampai kapan kita mampu menahan degradasi dunia pendidikan kita itu ? Mungkin
secara akademis kita maju, namun maju sesuai dengan pencapaian masa lalu. Bukan
maju dengan standar yang berlaku di sekeliling kita.
Banyak
yang mengatakan kepintaran akademis tidak serta merta menjamin orang akan
sukses, 100% benar. Banyak orang menjadikan Zuckerberg, Bill gates dan banyak
orang kaya lain menjadi panutan, dan memang benar bahwa kebanyakan dari mereka
adalah siswa drop out dari universitas ternama di negeri Paman Sam sana. Namun
kita lupa, mungkin mereka tidak baik secara akademis, namun mereka luar biasa
dengan adab dan kreatifitas mereka. Sehingga saya pribadi dapat menyimpulkan,
bahwa keberhasilan seseorang bisa didapat dari 3 hal, yaitu :
·
Adab/Etika
·
Kreatifitas
·
Ilmu akademis
Banyak
generasi muda di Indonesia menganggumi para penghuni Silicon Valley, namun
mereka lupa untuk mencontoh dan menyamai kreatifitas dan originalitas mereka
dalam berusaha. Mereka hanya sibuk mengatakan “Bill Gates yang terkaya di jagad
raya aja drop out koq !” Namun mereka tidak pernah mencari tahu, apa yang
dilakukan Bill Gates hingga sampai di drop out, yang pasti bukan main domino
apalagi menyusun rumus kode buntut.
Semoga
ke depan, kita tidak lagi terjebak dengan metode pendidikan yang mengelaskan
antara si bodoh dengan yang pintar (karena di banyak kesempatan dan kenyataan
si Pintar malah bekerja untuk si Bodoh), membuat murid gantung diri hanya
karena tidak lulus ujian UN (karena orang yang saat ini dikenal dunia karena
keberhasilannya malah tidak sempat menjalani UN mereka, keburu di drop out
duluan Bro !). Wassalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar