Saya
hampir saja menutup laptop saya sebelum saya melihat sebuah postingan di salah
satu media sosial yang lebih kurang isinya menyatakan Fauzi Bahar sebagai
satu-satunya Walikota di dunia yang didemo pada hari terakhir jabatannya. Membaca
itu saya langsung terinspirasi untuk menggerakan jari-jari tangan saya untuk
kembali menulis. Saya menemukan kembali sensasi menulis sembari tersenyum, tulisan
ini mengalir begitu saja dengan senyum simpul di wajah saya yang tidak terlalu
ganteng.
Sebelumnya,
apa kabar Pak Fauzi ? Sudah cukup lama rasanya tidak bertemu dan rasanya Bapak
sudah hampir pasti sangat sibuk saat ini. Bapak akan menghadapi perjuangan
politik sekali lagi, mungkin ini adalah perjuangan politik terakhir untuk
Bapak.
Oke,
kita lanjut kepada materi tulisan kali ini, membaca kalimat Fauzi Bahar sebagai
satu-satunya Walikota yang didemo pada masa akhir jabatannya membuat saya
otomatis langsung terkenang akan sosok-sosok orang kuat dunia. Beberapa di
antaranya adalah Saddam Hussein di Irak dan Moammar Qadaffi di Libia. Dua orang
kuat ini mengakhiri jabatannya mirip dengan Fauzi Bahar mengakiri jabatannya
sebagai Walikota. Malah dua orang yang kita sebutkan namanya di awal ini
mengakhiri jabatannya lebih tragis, tidak saja hanya didemo, mereka malah
digantung dan dibunuh oleh pasukan koalisi.
Kenapa
dua kejadian yang menimpa pemimpin negara kaya minyak itu membuat saya
terkenang akan kisah Fauzi ? Karena untuk skop yang lebih kecil, Fauzi punya
beberapa karakter dari dua orang kuat itu, Saddam dan Qadaffi. Sama dengan dua
orang itu Fauzi Bahar adalah orang kuat, berpendirian tegas, dan punya prinsip.
Jika Saddam dan Qadaffi mempertahankan pendiriannya dengan kehilangan nyawanya,
Fauzi mendapatkan hadiah demo sebagai kompensasi mempertahankan prinsip dan
harga dirinya. Fauzi, Saddam dan Qadaffi bukanlah orang yang bisa diputar
sana-sini. Juga bukan orang yang akan memble dan plin-plan dalam memutuskan
suatu persoalan. Mereka adalah tipe orang yang mengambil keputusan dan
bertanggung jawab hingga akhir.
Saya
berandai-andai, andai saja Saddam dan Qadaffi bisa sedikit membuang pinsip dan
harga dirinya, mungkin dua pemimpin besar itu masih hidup sampai sekarang dan
tetap kaya raya. Sama halnya jika saja dulu Soekarno mau berdamai dengan Amerika
Serikat, maka beliau akan menjadi orang yang kaya raya hanya dengan menerima
bagi hasil Freeport yang diberikan oleh Amerika. Tapi mereka tidak melakukan
itu. Begitupun dengan Fauzi. Tidak ada satupun kelompok yang dapat menekan
mereka untuk memalingkan prinsip hidup mereka. Sebagai politisi hal ini jarang
ditemui saat ini, karena bagi politisi yang penting hidup panjang, berkuasa
selama mungkin, soal jilat menjilat ludah sendiri, itu hal yang bisa diabaikan
dengan pura-pura lupa, atau pura-pura tidak tahu.
Selepas
Saddam tidak lagi berkuasa di Irak, untuk beberapa waktu masyarakat Irak
mengalami euforia yang sangat dahsyat, kedatangan tentara Amerika disambut
dengan sorak sorai bergembira, sama halnya dengan Libia sepeninggal Qadaffi. Masyarakat
merayakan keberhasilan mereka mendemo, menjatuhkan dan membunuh pemimpin
mereka. Tapi... coba tanyakan kepada mereka situasi mereka saat ini. salah
seorang reporter Amerika yang bertugas di Irak pasca jatuhnya Saddam bertanya
kepada salah seorang warga Irak bagaimana perasaannya melihat Irak saat ini,
jawaban yang didengar oleh reporter ini sungguh sangat mencengangkan, “Jikalah
Saddam Hussein masih hidup, maka aku akan berlari untuk menyalami dan mencium
tangannya !” Ternyata ada sebuah penyesalan dari warga yang tadinya merasa
begitu gembira telah berhasil mendemo, menangkap dan membunuh seorang Saddam.
Irak selepas Saddam ? Negara rusuh dan chaos.
Muammar
Qadaffi mati ditembak oleh tentara pemberontak yang mendapat dukungan dari
Amerika Serikat melalui Aliansi NATOnya. Sama seperti Irak, untuk sejenak
sorak-sorai bergembira terdengar seantero Libia. Bagaimana Libia kini ? Miskin,
konflik dan lemah. Mereka lupa bahwa Qadaffi lah yang selama ini menggratiskan
biaya listrik mereka, Qadaffi lah yang membangun megaproyek penyediaan air
bersih untuk seluruh masyarakat Libia, dan Qadaffi lah yang membuat memberikan
mereka bagi hasil dari penjualan minyak Libia. Qadaffi lah yang menetapkan
kebijakan subsidi 50% bagi setiap pengantin baru yang akan membeli rumah.
Jadi
Pak Fauzi, tidak usah terlalu berkecil hati mengenai demo itu. Orang besar
mendapat cobaan besar karena melakukan hal-hal yang besar. Orang yang tidak
melakukan apa-apa tentu juga tidak akan menemui dan menghadapi
peristiwa-peristiwa yang besar juga. Orang besar terkadang menjadi jauh lebih
besar ketika dia sudah tidak lagi berkuasa.
Tentang
demo itu, anda dan saya tahu dimana mereka dikumpulkan dan dijamu. Anda dan
saya juga tahu bendera apa yang mereka bawa, stiker apa yang ada di kendaraan
mereka dan siapa yang memprovokasi mereka.
Bukan
tidak mungkin ketika Bapak bukan siapa-siapa lagi, Bapak malah menjadi kenangan
baik bagi banyak orang. Entah itu mantan anak buah Bapak, Ibu-ibu yang Bapak
temui dalam Majelis Taklim, atau para orang tua yang mendapatkan anaknya saat
ini telah fasih membaca Asmaul Husna dan Juz Amma.
Selamat
berjuang Pak, saya doakan yang terbaik. Salam hormat saya untuk Bapak dan
Keluarga. Kepada Iyaz yang menemani saya di Jakarta, kepada Ibu yang selalu
menyajikan masakannya tidak peduli pagi, siang atau malam untuk saya, Egi yang
membuat saya harus mengeluarkan kemampuan lobi terbaik untuk memindahkan
acaranya, dan tentu saja si kecil Tiara yang kerap menyelamatkan saya ketiga
bertugas sebagai Ajudan. Wasssalam...
Lost my words.... Tetaplah menjaga idealisme berpikir Tommy dalam setiap tulisan yang dilahirkan.. Fabulous
BalasHapusThank you Uni... Thanks a lot... :)
HapusLost my words.... Tetaplah menjaga idealisme berpikir Tommy dalam setiap tulisan yang dilahirkan.. Fabulous
BalasHapusThank you Uni... Thanks a lot... :)
Hapus