Jumat, 04 Desember 2015

ANTARA FAUZI, SADDAM DAN QADAFFI





Saya hampir saja menutup laptop saya sebelum saya melihat sebuah postingan di salah satu media sosial yang lebih kurang isinya menyatakan Fauzi Bahar sebagai satu-satunya Walikota di dunia yang didemo pada hari terakhir jabatannya. Membaca itu saya langsung terinspirasi untuk menggerakan jari-jari tangan saya untuk kembali menulis. Saya menemukan kembali sensasi menulis sembari tersenyum, tulisan ini mengalir begitu saja dengan senyum simpul di wajah saya yang tidak terlalu ganteng.
Sebelumnya, apa kabar Pak Fauzi ? Sudah cukup lama rasanya tidak bertemu dan rasanya Bapak sudah hampir pasti sangat sibuk saat ini. Bapak akan menghadapi perjuangan politik sekali lagi, mungkin ini adalah perjuangan politik terakhir untuk Bapak.
Oke, kita lanjut kepada materi tulisan kali ini, membaca kalimat Fauzi Bahar sebagai satu-satunya Walikota yang didemo pada masa akhir jabatannya membuat saya otomatis langsung terkenang akan sosok-sosok orang kuat dunia. Beberapa di antaranya adalah Saddam Hussein di Irak dan Moammar Qadaffi di Libia. Dua orang kuat ini mengakhiri jabatannya mirip dengan Fauzi Bahar mengakiri jabatannya sebagai Walikota. Malah dua orang yang kita sebutkan namanya di awal ini mengakhiri jabatannya lebih tragis, tidak saja hanya didemo, mereka malah digantung dan dibunuh oleh pasukan koalisi.
Kenapa dua kejadian yang menimpa pemimpin negara kaya minyak itu membuat saya terkenang akan kisah Fauzi ? Karena untuk skop yang lebih kecil, Fauzi punya beberapa karakter dari dua orang kuat itu, Saddam dan Qadaffi. Sama dengan dua orang itu Fauzi Bahar adalah orang kuat, berpendirian tegas, dan punya prinsip. Jika Saddam dan Qadaffi mempertahankan pendiriannya dengan kehilangan nyawanya, Fauzi mendapatkan hadiah demo sebagai kompensasi mempertahankan prinsip dan harga dirinya. Fauzi, Saddam dan Qadaffi bukanlah orang yang bisa diputar sana-sini. Juga bukan orang yang akan memble dan plin-plan dalam memutuskan suatu persoalan. Mereka adalah tipe orang yang mengambil keputusan dan bertanggung jawab hingga akhir.
Saya berandai-andai, andai saja Saddam dan Qadaffi bisa sedikit membuang pinsip dan harga dirinya, mungkin dua pemimpin besar itu masih hidup sampai sekarang dan tetap kaya raya. Sama halnya jika saja dulu Soekarno mau berdamai dengan Amerika Serikat, maka beliau akan menjadi orang yang kaya raya hanya dengan menerima bagi hasil Freeport yang diberikan oleh Amerika. Tapi mereka tidak melakukan itu. Begitupun dengan Fauzi. Tidak ada satupun kelompok yang dapat menekan mereka untuk memalingkan prinsip hidup mereka. Sebagai politisi hal ini jarang ditemui saat ini, karena bagi politisi yang penting hidup panjang, berkuasa selama mungkin, soal jilat menjilat ludah sendiri, itu hal yang bisa diabaikan dengan pura-pura lupa, atau pura-pura tidak tahu.
Selepas Saddam tidak lagi berkuasa di Irak, untuk beberapa waktu masyarakat Irak mengalami euforia yang sangat dahsyat, kedatangan tentara Amerika disambut dengan sorak sorai bergembira, sama halnya dengan Libia sepeninggal Qadaffi. Masyarakat merayakan keberhasilan mereka mendemo, menjatuhkan dan membunuh pemimpin mereka. Tapi... coba tanyakan kepada mereka situasi mereka saat ini. salah seorang reporter Amerika yang bertugas di Irak pasca jatuhnya Saddam bertanya kepada salah seorang warga Irak bagaimana perasaannya melihat Irak saat ini, jawaban yang didengar oleh reporter ini sungguh sangat mencengangkan, “Jikalah Saddam Hussein masih hidup, maka aku akan berlari untuk menyalami dan mencium tangannya !” Ternyata ada sebuah penyesalan dari warga yang tadinya merasa begitu gembira telah berhasil mendemo, menangkap dan membunuh seorang Saddam. Irak selepas Saddam ? Negara rusuh dan chaos.
Muammar Qadaffi mati ditembak oleh tentara pemberontak yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat melalui Aliansi NATOnya. Sama seperti Irak, untuk sejenak sorak-sorai bergembira terdengar seantero Libia. Bagaimana Libia kini ? Miskin, konflik dan lemah. Mereka lupa bahwa Qadaffi lah yang selama ini menggratiskan biaya listrik mereka, Qadaffi lah yang membangun megaproyek penyediaan air bersih untuk seluruh masyarakat Libia, dan Qadaffi lah yang membuat memberikan mereka bagi hasil dari penjualan minyak Libia. Qadaffi lah yang menetapkan kebijakan subsidi 50% bagi setiap pengantin baru yang akan membeli rumah.
Jadi Pak Fauzi, tidak usah terlalu berkecil hati mengenai demo itu. Orang besar mendapat cobaan besar karena melakukan hal-hal yang besar. Orang yang tidak melakukan apa-apa tentu juga tidak akan menemui dan menghadapi peristiwa-peristiwa yang besar juga. Orang besar terkadang menjadi jauh lebih besar ketika dia sudah tidak lagi berkuasa.
Tentang demo itu, anda dan saya tahu dimana mereka dikumpulkan dan dijamu. Anda dan saya juga tahu bendera apa yang mereka bawa, stiker apa yang ada di kendaraan mereka dan siapa yang memprovokasi mereka.
Bukan tidak mungkin ketika Bapak bukan siapa-siapa lagi, Bapak malah menjadi kenangan baik bagi banyak orang. Entah itu mantan anak buah Bapak, Ibu-ibu yang Bapak temui dalam Majelis Taklim, atau para orang tua yang mendapatkan anaknya saat ini telah fasih membaca Asmaul Husna dan Juz Amma.
Selamat berjuang Pak, saya doakan yang terbaik. Salam hormat saya untuk Bapak dan Keluarga. Kepada Iyaz yang menemani saya di Jakarta, kepada Ibu yang selalu menyajikan masakannya tidak peduli pagi, siang atau malam untuk saya, Egi yang membuat saya harus mengeluarkan kemampuan lobi terbaik untuk memindahkan acaranya, dan tentu saja si kecil Tiara yang kerap menyelamatkan saya ketiga bertugas sebagai Ajudan. Wasssalam...

4 komentar:

  1. Lost my words.... Tetaplah menjaga idealisme berpikir Tommy dalam setiap tulisan yang dilahirkan.. Fabulous

    BalasHapus
  2. Lost my words.... Tetaplah menjaga idealisme berpikir Tommy dalam setiap tulisan yang dilahirkan.. Fabulous

    BalasHapus